Rabu, 13 Februari 2008

Model Perencanaan Pelayanan Bagi Penyandang Cacat di Kota Bandung

Oleh :DR.Soni Akhmad Nulhaqim S.Sos, M.Si

Latar Belakang
Dalam Pembangunan Nasional pada hakekatnya ditujukan kepada manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dalam hubungan itu penyandang cacat sebagai salah satu satuan masyarakat mempunyai kedudukan hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya disegala aspek kehidupan dan penghidupan. Untuk mewujudkan kesamaan kedudukan hak, kewajiban dan peran penyandang cacat diperlukan upaya-upaya yang terencana, terarah dan terpadu. Sehingga penyandang cacat mencapai kemandirian dengan taraf kesejahteraan sosial yang setinggi-tingginya. Jumlah penyandang masalah sosial di Kota Bandung khusus masalah penyandang cacat sebesar 2.491 jiwa. Sedangkan jumlah yayasan dan organisasi sosial di Kota Bandung yang menangani penyandang cacat sebanyak 129 buah. Namun hanya sebagian kecil jumlah yayasan yang masih aktif. Lembaga atau Yayasan yang khusus menangani penyandang cacat seperti tenggelam karena peran mereka kurang maksimal hal ini dapat disebabkan oleh kurang begitu menjual isu mengenai penyandang cacat hingga baik dalam masalah pendanaan mereka masih sangat membutuhkan dari berbagai sumber lain.
Kemudian peran pemerintah masih kurang dalam menangani masalah ini. pemerintah sudah terlalu banyak menghadapi permasalahan-permasalahan sosial lainnya, hingga penyandang cacat terlupakan. Oleh karena itu diperlukan peran-peran aktif dari pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Sedangkan di Kota Bandung sendiri jumlah penyandang cacat yang di tanggung oleh pemerintah hanya sebanyak 35 jiwa pada tahun 2001, hal ini sangat kecil jumlahnya dari pada jumlah penyandang cacat keseluruhan di Kota Bandung.
Selama ini pemerintah cenderung memperlakukan penyandang cacat sebagai orang yang mengalami persoalan sosial sehingga penanganan penyandang cacat umumnya diwujudkan dalam bentuk santunan. Melainkan mereka seharusnya diberikan kesempatan untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara. Dengan demikian pelayanan-pelayanan yang diberikan seharusnya harus dalam bentuk pemberdayaan hingga penyandang cacat dapat menjalankan fungsi sosialnya sebagaimana mestinya. Seperti mereka diberikan hak yang sama dalam pekerjaan, baik di perusahaan atau di tempat kerja lainnya yang sesuai dengan batas kemampuannya.
1 Penelitian oleh Soni A. Nulhaqim, bekerjasama antara Laboratorium Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Bappeda Kota Bandung pada tahun 2006Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, kuota pekerja di sebuah perusahaan adalah satu karyawan yang cacat berbanding seratus karyawan tidak cacat. Peraturan ini telah memberikan hak-hak yang sama terhadap penyandang cacat, dan mengharuskan perusahaan menyediakan tempat bagi penyandang cacat. Hanya saja apakah penyandang cacat tersebut mampu dan siap untuk menjalankan fungsinya.
Jika selama ini penyandang cacat diposisikan sebagai orang yang mempunyai masalah sosial dan hanya diberikan santunan-santunan tanpa ada usaha untuk memberdayakan mereka, maka tidak akan timbul fungsi-fungsi sosialnya dan mereka tidak bisa menghadapi persaingan di dunia luar. Oleh karena itu dalam pemberian pelayanan kepada penyandang cacat harus sustainable dan tidak hanya memberikan keterampilan sesaat saja tanpa memberikan akses bagaimana mereka harus menjalankan fungsi sosialnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka diperlukan suatu strategi dalam rehabilitasi pelayanan untuk penyandang cacat, kemudian perlu dikembangkan peran pemerintah, masyarakat dan keluarga beserta lingkungannya serta mendorong adanya sinkronisasi tiap-tiap stakeholder. Upaya tersebut dilakukan melalui perencanaan pembangunan kesejahteraan sosial yang difokuskan pada rehabilitasi pelayanan untuk penyandang cacat dengan memberdayakan potensi-potensi baik dalam dirinya maupun lingkungannya agar lebih sustainable atau pemberdayaan masyarakat dalam rehabilitasi pelayanan kepada penyandang cacat.

Definisi Operasional
Guna mengarahkan penelitian ini penyusun mengemukakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Penyandang cacat orang-orang yang memiliki ketrebatasan-keterbatasan baik secara fisik maupun non fisik yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya hingga mereka diperlukan special needs, untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.
2. Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
3. Pemberdayaan penyandang cacat dalam pembangunan kesejahteraan sosial yaitu sistem usaha-usaha dalam memberikan intervensi kepada penyandang cacat agar mereka dapat berperan sesuai statusnya sebagai warga negara dan mereka memenuhi hak-haknya sebagai warga negara.
4. Perencanaan adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternative terbaik dari sejumlah alternative yang ada untuk mencapai tujuan tertentu
Metode Studi dan Teknik Pengumpulan Data
Metode Studi
Metode yang digunakan dalam Studi ini adalah deskriptif artinya menggambarkan dan mendeskripsikan fenomena yang ada saat penelitian ini dilaksanakan. Studi ini dilakukan di Kota Bandung, dengan sasaran populasi adalah instansi-instansi dan kader yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pelayanan terhadap penyandang cacat masyarakat dan keluarga penyandang cacat.
Sumber Data
Untuk keperluan analisis studi ini, data atau informasi yang dikumpulkan berasal dari data hasil wawancara kepada pengurus lembaga pelayanan, Pusat Rehabilitasi, masyarakat, keluarga penyandang cacat serta penyandang cacat itu sendiri. Untuk melengkapi kajian ini di lakukan pula penelusuran dari berbagai kebijakan atau dokumen yang terkait dengan kajian ini.
Kerangka Pemikiran
Pelayanan Sosial yang diungkapkan oleh Alfred J. Khan yang dikutip oleh Soetarso sebagai berikut:
Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan akan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk kehidupan bermasyarakat serta kemampuan perorangan untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada dan membantu masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran. (Soetarso, 1984:26)
Pada hakekatnya pelayanan sosial ditujukan kepada individu, kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkan pertolongan atau yang mengalami keterlantaran dan perlu adanya perlindungan atau perlakukan khusus bagi mereka yang membutuhkan agar peran sosial mereka di masyarakat dapat berfungsi kembali.
Pelayanan sosial menurut fungsinya adalah:
1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan. Pelayanan sosial diadakan untuk melindungi, mengadakan perubahan atau penyempurnaan kegiatan pendidikan, pengasuhan anak, perencanaan nilai dan pengembangan hubungan sosial dimasa lampau menjadi fungsi keluarga dan kerabat. Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menamkan akar pemahaman dan motivasi serta mutu pengembangan kepribadian. Aspek-aspek kognitif dan emosional dari proses belajar juga tercakup di dalamnya. Sarana pencapaian tujuan ini bersifat formal, semi formal, dan informal.
2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan. Pelayanan sosial ini memberikan bantuan, rehabilitasi dan perlindungan sosial. Pelayanan sosial ini dalam beberapa hal ditujukan untuk membantu perorangan yang mengalami masalah-masalah dengan jalan menggunakan kelompok primer untuk memperkuat atau menggantikan fungsi-fungsi yang tidak lagi atau mengalami gangguan-gangguan. Pelayanan ini dapat juga berupa bantuan singkat intensif dan pribadi sifatnya. Secara umum, tujuan pelayanan ini adalah pemilihan kemampuan pelaksanaan agar bantuan yang diberikan tersebut berguna bagi penyesuaian yang memadai dengan lingkungan sosialnya.
3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan pelayanan yang sudah ada, berupa informasi dan nasehat.
Selain itu pelayanan sosial mempunyai fungsi pengembangan kemampuan untuk menjangkau dan mengusahakan pelayanan yang dibutuhkan atau kemampuan untuk memahami pelayanan sosial manakah yang sesuai dengan permasalahan.
Pelayanan-pelayanan yang diberikan harus tepat dengan kebutuhan klien (penyandang cacat). Upaya-upaya tersebut pada dasarnya merupakan salah satu upaya pemberdayaan. Bagi seseorang pelaku perubahan, hal yang dilakukan terhadap klien mereka (baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas) adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam kaitan dengan hal ini, Payne (1997) dalam (Rukminto Adi, 2000: 32), mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan guna:
”Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya”.
Pada dasarnya pemberdayaan sama dengan ”self determination”, yang pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi. Sebagai bagian dari proses pelayanan dan pemberdayaan dibutuhkan suatu perencanaan yang baik untuk memberikan pelayanan yang optimal dan tepat sasaran. Menurut Friedman And Hudson Perencanaan adalah suatu kegiatan yang memusatkan perhatian pada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan yang terorganisasi” (1974), sedangkan menurut Suharto (2005: 64), perencanaan adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternative terbaik dari sejumlah alternative yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Secara singkat, perencanaan adalah proses membuat rencana (plan).
Dengan demikian perencanaan sosial adalah proses membuat ‘rencana sosial’. Sebagaimana tercermin dalam pernyataan Conyers (1984), perencanaan sebaiknya tidak dipandang sebagai aktivitas yang terpisah dari kebijakan, tetapi sesuatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat kompleks Yang dimulai dari perumusan tujuan kebijakan serta sasaran yang lebih luas, kemudian dikembangkan melalui tahapan-tahapan dimana tujaun kebijakan ini diterjemahkan ke dalam bentuk rencana (plan) yang lebih rinci bagi program dan proyerk khusus, yang selanjutnya dilaksanakan secara nyata. Gambaran ini menunjukkan bahwa perencanaan dan kebijakan (dalam arti pengambilan keputusan), bertalian secara erat, dimana perencanaan sosial merupakan aktivitas yang melekat pada proses perumusan kebijakan.

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jenis Kecacatan (Tuna) Yang Ditangani
Jenis kecacatan yang ditangani oleh pemberi pelayanan oleh responden dari pihak RBM, sebagian besar jawaban dari 20 responden adalah kader RBM menangani lebih dari satu jenis kecacatan. Hal ini dapat dilihat dari responden yang berpendapat kader RBM yang melayani kecacatan tuna netra, rungu, grahita, ganda, dan daksa. Sedangkan untuk yayasan jenis kecacatan yang ditangani beragam, dari 10 responden yang paling banyak yaitu pelayanan bagi penyandang cacat tuna rungu dan grahita yaitu 30%, Sedangkan dari pihak responden SLB, dapat dilihat bahwa pada dasarnya tidak ada jenis kecacatan yang lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Hal ini disebabkan SLB-SLB yang berada di kota Bandung hampir merata dalam menangani jenis kecacatannya. Berdasarkan hasil kajian ada beberapa SLB yang menangani beberapa jenis kecacatan sekaligus dan ada juga yang hanya menangani satu jenis kecacatan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ada 35% SLB menangani tuna grahita, 25% SLB menangani tuna rungu, 5% SLB menangani tuna netra.
Jenis Pelayanan
Selanjutnya jenis pelayanan yang diberikan kader RBM mayoritas adalah berupa pendidikan, kesehatan, konseling, penyuluhan, dan pendataan bagi penyandang cacat. Kemudian jenis pelayanan yang diberikan oleh yayasan bagi para penyandang cacat sebagian besar berupa pendidikan, kesehatan dan konseling, bahkan adan yayasan yang memberikan pelatihan kerja atau kewirausahaan. Sedangkan pada responden pengurus SLB, jenis pelayanan yang diberikan SLB pada umumnya adalah pendidikan, pada dasarnya para responden mengakui bahwa idealnya sekolah luar biasa tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan akan tetapi harus dapat juga memberikan pelayanan kesehatan maupun konseling.
Ketersediaan Dana Rutin
Kader RBM tidak mendapatkan dana rutin baik dari pemerintah maupun dari pihak lainnya. Hal ini dapat diamati dari jumlah responden dari kader RBM yang menjawab tidak ada ketersediaan dana rutin adalah 100%. Selanjutnya, untuk responden dari pihak yayasan sebagian besar menjawab bahwa yayasan memiliki dana rutin yaitu sebanyak 60% responden, sedangkan yayasan yang menjawab tidak memiliki dana rutin ada 40% dari responden. Sedangkan pihak SLB berpendapat bahwa SLB mendapatkan dana rutin, hal ini dapat dilihat dari seluruh responden yaitu 100% yang menjawab memiliki dana rutin.
Sumber Penghasilan Untuk Kader RBM, Yayasan Dan SLB
Sumber pendapatan yang diperoleh dari 20 responden kader RBM mayoritas tidak mendapatkan penghasilan apapun selama menjadi kader RBM yaitu sebanyak 60% responden, sedangkan kader RBM yang menjawab mendapatkan uang transport sebesar 35%, dan sisanya menjawab mendapatkan uang operasional yaitu 5%.
Sedangkan sumber pendapatan bagi para pengurus yayasan sebagian besar tidak memiliki sumber penghasilan dari yayasan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang menjawab yayasan tidak memberikan penghasilan kepada pengurus yaitu sebanyak 80% responden, pengurus yang mendapatkan gaji bulanan sebanyak 10 % responden, pengurus yang mendapatkan uang operasional sebanyak 10%. Tidak jauh berbeda dengan pengurus yayasan, para petugas yayasan pun ada yang tidak mendapatkan upah (40%), namun ada beberapa petugas (30%) yang mendapatkan gaji bulanan sebagai pihak yang bekerja untuk pengurus yayasan.
Sedangkan dari pihak responden pengurus SLB, 45% responden mengatakan tidak memperoleh pendapatan, dalam hal ini adalah memperoleh gaji bulanan, uang operasional maupun uang transport, 35% responden mengatakan memperoleh gaji bulanan, 15% responden mengatakan hanya memperoleh uang transport dan hanya ada 5% yang memperoleh gaji bulanan dan uang transport. Sedangkan dari pihak petugas pelayanan rata-rata adalah pengurus SLB juga yang sebagian besar mendapatkan gaji bulanan (75%).
Masalah Dana Dalam Pelaksanaan Pelayanan
Berdasarkan hasil studi di atas, sebagian besar responden berpendapat bahwa dana menjadi masalah dalam pelaksanaan pelayanan namun bukan suatu masalah berat. Hal ini dapat diamati dari jumlah responden yang berpendapat bahwa dana bukan masalah berat dalam pelayanan adalah 50%, responden yang berpendapat bahwa dana menjadi masalah berat dalam pelayanan kader RBM adalah 40% responden, sedangkan responden yang menjawab bahwa dana tidak menjadi masalah dalam pelayanan RBM adalah 10% responden. Sedangkan dari pihak yayasan, sebagian besar responden berpendapat bahwa dana menjadi masalah berat dalam pelaksanaan pelayanan bagi para penyandang cacat yaitu sebanyak 60% responden, dan 30% responden melihat dana bukan sebuah masalah yang berat bagi pelaksanaan pelayanan, sedangkan 10 % responden berpendapat bahwa dana tidak menjadi masalah dalam pelaksanaan pelayanan. Selanjutnya, dari pihak SLB mengenai kendala dana dalam memberikan proses pelayanan kepada penyandang cacat, terlihat ada 65% responden mengatakan dana menjadi kendala tapi tidak sampai menghalangi untuk memberikan pelayanan, dan 20% responden mengatakan dana menjadi masalah berat dalam memberikan pelayanan, selanjutnya ada 15% responden yang mengatakan bahwa dana sama sekali tidak menjadi kendala dalam memberikan pelayanan.

Sumber Daya Manusia Dan Expertise
Pertimbangan Dalam Merekrut Kader RBM, Pengurus Yayasan Dan SLB
Sebagian besar responden dari pihak kader RBM, kepengurusan RBM bersifaf sukarela tanpa ada kriteria dalam perekrutan RBM. Hal ini sesuai dengan pendapat kader yang berpendapat pertimbangan merekrut petugas pelayanan yaitu sukarela ada 50%, responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus adalah: pendidikan, pengalaman, referensi, status pekerjaan dan status ekonomi adalah 10%, sedangkan responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu: pendidikan, pengalaman, referensi, status pekerjaan, dan sukarela adalah 5%, responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu pendidikan dan pengalaman ada 5%, responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu pengalaman dan status ekonomi adalah 5%, responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu pengalaman juga ada 5% responden, dan responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu referensi dan sukarela 5% dari responden, responden yang berpendapat pertimbangan merekrut pengurus yaitu status pekerjaan, status ekonomi, dan sukarela adalah 5% responden, sedangkan responden yang berpendapat tidak ada pertimbangan adalah 10% responden.
Sedangkan pertimbangan yayasan dalam merekrut petugas pelayanan bervariatif, hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang mempertimbangkan pendidikan, pengalaman, referensi, status pekerjaan dan status ekonomi berjumlah 20% responden, responden yang mempertimbangkan tingkat pendidikan dan pengalaman adalah 20% responden, responden yang mempertimbangkan pengalaman dan referensi adalah 10% responden, responden yang mempertimbangkan referensi dan status pekerjaan adalah 10%, responden yang mempertimbangkan tingkat pendidikan, referensi dan dedikasi petugas adalah 10% responden, responden yang mempertimbangkan tingkat pendidikan dan sukarela petugas adalah 10% responden, responden yang mempertimbangkan pengalaman dan sukarela ada 10%, dan responden yang berpendapat bahwa yayasan tidak ada pertimbangan dalam merekrut pengurus berjumlah 10%.
Selanjutnya pada pihak SLB, tabel tersebut memperlihatkan bahwa pertimbangan dalam merekrut pengurus adalah pada tingkat pendidikan dan pengalamannya. Hal ini dapat dlihat dari jumlah responden yang berpendapat bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman menjadi pertimbangan dalam merekrut petugas adalah 40% responden, sedangkan untuk kategori tingkat pendidikan dipilih oleh 15% responden, untuk kategori pengalaman dan referensi dipilih 10% responden. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa tingkat pendidkan dan pengalaman adalah hal yang penting dalam merekrut pengurus SLB
Ukuran Utama Keberhasilan Pelayanan
Berdasarkan hasil studi, responden pada pihak kader RBM memiliki pendapat yang sebagian besar berpendapat bahwa ukuran utama bagi keberhasilan utama program RBM adalah klien dapat mengurus dirinya sendiri sebanyak 60%, sedangkan responden yang menjawab tidak ada target utama dalam pelayanan RBM di kelurahannya sebanyak 20%, sisanya berpendapat ukuran utama keberhasilan pelayanan adalah klien dapat mengembangkan potensinya sebanyak 15%, responden yang berpendapat keluarga dapat menerima klien apa adanya sebanyak 5%.
Sedangkan responden dari pihak yayasan yang menjawab klien dapat mengurus dirinya sendiri berjumlah 40%, responden yang menjawab klien dapat mengurus dirinya sendiri, klien dapat mengembangkan potensinya, klien dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya dan keluarga menerima klien apa adanya berjumlah 20%, responden yang menjawab klien dapat mengurus diri sendiri dan klien dapat mengembangkan potensinya berjumlah 10%, responden yang menjawab klien dapat mengembangkan potensinya dan keluarga menerima klien apa adanya berjumlah 10% responden.
Pembahasan selanjutnya pada pihak SLB, ada 45% mengatakan bahwa indikator yang ditetapkannya adalah penyandang cacat dapat mengurus dirinya sendiri, 30% responden mengatakan bahwa indikator yang ditetapkannya adalah penyandang cacat dapat mengembangkan potensinya dan ada 15% responden indikator keberhasilannya adalah dapat mengurus, mengembangkan diri dan dan dapat bergaul dengan lingkungannya.
Perencanaan
Pembahasan dilanjutkan dengan perencanaan untuk mencapai keberhasilan pelayanan. Berdasarkan hasil studi, responden dari kader RBM sebanyak 55% berpendapat bahwa tidak ada perencanaan untuk mencapai tujuan pelayanan dan sisanya sebanyak 45% berpendapat bahwa ada perencanaan untuk mencapai tujuan pelayanan. Angka ini disebabkan RBM masih ada yang belum berjalandengan baik, kemudian mereka bertugas
Sedangkan pada pihak yayasan, sebagian besar yayasan membuat perencanaan dalam pelaksanaan pelayanan, hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang berpendapat bahwa yayasan melakukan perencanaan sebanyak 90%.
Selanjutnya untuk pembahasan pada pihak SLB, seluruh responden yang dijadikan sampel menyatakan bahwa 100% responden berpendapat bahwa SLB membuat perencanaan untuk mencapai keberhasilan perencanaan. Selanjutnya bagian dari perencanaan dibahas pada sub pembahasan berikutnya.
Monitoring/Pengawasan Terhadap Kegiatan Pelayanan
Proses pelayanan yang diberikan oleh kader RBM tentunya terdapat juga proses monitoring dan berdasarkan hasil kajian dari seluruh responden terdapat 60% responden menjelaskan bahwa terdapat upaya monitoring terhadap pelayanan dan sekitar 40% responden lainnya yang memberikan keterangan bahwa tidak terdapat proses monitoring terhadap pelayanan. Hal ini dikarenakan Kader RBM menganggap sistem monitoring berupa kunjungan langsung ke lapangan untuk melihat kegiatam kader RBM sedangkan sistem monitoring dalam RBM ini hanya berbentuk laporan Triwulan.
Sedangkan dari pihak Yayasan, seluruh responden yaitu 100% berpendapat bahwa yayasan melakukan proses monitoring terhadap kegiatan pelayanan bagi para penyandang cacat .
Selanjutnya dari pihak SLB, menunjukan 100% responden berpendapat bahwa terdapat monitoring yang dilakukan sekolah. Monitoring adalah kegiatan yang mutlak harus dilakukan oleh lembaga pelayanan agar kualitas dari pelayanan dapat terus dikontrol.
Evaluasi
Berdasarkan hasil studi terdapat 50% responden yang memberikan keterangan bahwa terdapat evaluasi pada tahap proses pelayanan sedangkan 50% lainnya memberikan keterangan tidak ada evaluasi dari pihak pemerintah. Hal ini dikarenakan Kader RBM menganggap sistem evaluasi berupa kunjungan langsung ke lapangan untuk melihat kegiatan kader RBM sedangkan sistem evaluasi dalam RBM ini yang dilakukan oleh sekretariat RBM berbentuk laporan Triwulan dan evaluasi tahunan.
Sedangkan dari pihak yayasan seluruhnya melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan bagi para penyandang cacat yaitu 100% responden. Selanjutnya dari pihak SLB, Evaluasi pelaksanaan pelayanan adalah proses yang harus terus dilakukan sekolah agar dapat terus memonitoring dan melakukan perbaikan-perbaikan dalam memberikan pelayanan-pelayanan kepada penca. Berdasarkan tabel di atas 100% responden mengatakan bahwa sekolahnya terus melakukan evaluasi pelaksanaan pelayanan. Sistem evaluasi pada yayasan dan SLB dilakukan evaluasi internal dari masing-masing kepengurusan baik dari yayasan maupun dari SLB tersebut.

Jangkauan Pelayanan
Wilayah Target Utama Penerima Pelayanan Berdasarkan Jangkauan
Berdasarkan hasil studi ini target utama kader RBM berdasarkan pada kemampuan jangkauannya adalah penyandang cacat yang berada di satu kelurahan yang sama dengan kader. Hal ini dikarenakan seluruh kader RBM adalah para ibu rumah tangga sehingga yang mempunyai keterbatasan dalam hal mobilitas dan waktu. Kemudian 19 kader RBM (95%) yang mengatakan hal tersebut, dan hanya ada 1 kader RBM (5%) yang mengatakan wilayah jangkuannya adalah satu kecamatan.
Sedangkan dari pihak yayasan, target utama penerima pelayanan dari yayasan mayoritas adalah seluruh penyandang cacat di kota Bandung, hal tersebut dapat dilihat dari responden yang menjawab bahwa target utama pelayanan adalah seluruh penyandang cacat di Kota Bandung terdapat 50% responden, responden yang menjawab seluruh penyandang cacat di satu kecamatan terdapat 20% responden, responden yang menjawab seluruh penyandang cacat di satu kelurahan terdapat 10% responden, responden yang menjawab target lainnya adalah penyandang cacat yang berada pada lingkup 3 KM dari yayasan dan mencakup nasional 20% responden.
Selanjutnya untuk pihak SLB berdasarkan hasil kajian, diketahui jangkauan dan target utama sekolah dalam memberikan pelayanan pendidikan adalah kepada seluruh penyandang cacat tanpa melihat asal daerahnya. Ada 60% responden mengatakan hal ini, dan masing-masing ada 10% responden yang mengatakan bahwa target utamanya adalah penyandang cacat yang berada di kecamatan, kelurahan maupun sekolahnya. Dan ada 5% responden yang mengatakan target utamanya adalah penyandang cacat yang berada di seluruh Indonesia. Pernyataan ini dikarenakan SLBnya adalah SLB yang dijadikan rujukan seluruh Indonesia dalam menangani kebutaaan atau tuna netra.

Sistem Birokrasi Untuk Yayasan Dan SLB
Status Yayasan Dan SLB
Dari seluruh yayasan yang diteliti, semua merupakan yayasan mandiri yang tidak berafiliasi kepada pihak mana pun. Sedangkan untuk pihak SLB terlihat ada 50% SLB berstatus mandiri, 40% responden berpendapat bahwa SLB berafiliasi pada dinas pendidikan dan ada 10% responden yang berafiliasi pada yayasan.
Pengaruh Berafiliasi Terhadap Kebebasan Mengembangkan SLB
Walaupun berafiliasi baik kepada yayasan maupun dinas pendidikan, SLB masih diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebijakan, pendanaan maupun perekrutan SDM-SDM baru, selama kebijakan itu tidak bertentangan dengan kebijakan pusat. Ada 70% responden menyatakan SLB masih diberi kebebasan dalam ”Pendanaan, Kebijakan dan Recruitmen SDM”, 10% lainnya menyatakan bahwa berafiliasi berpengaruh pada kebebasan dalam mengembangkan ”Pendanaan dan Kebijakan”. Jumlah yang sama yaitu 10% dari responden memilih pengaruh ada ”Kebijakan dan Recruitmen SDM”. Selain itu ada juga responden yang menyatakan bahwa berafiliasi berpengaruh pada ”Pendanaaan”.
Partisipasi Masyarakat
Dalam suatu kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum atau yang bersinggungan dengan aktivitas masyarakat dalam hal ini adalah kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Kader RBM, Yayasan dan SLB kepada penyandang cacat, maka perlu kita ketahui bagaimana kegiatan tersebut melibatkan partisipasi masyarakat. Berikut ini adalah hasil dari kajian dari responden Kader RBM, Yayasan dan SLB.

MODEL PERENCANAAN PELAYANAN PENYANDANG CACAT DI KOTA BANDUNG
Analisis SWOT dalam Pelayanan Yayasan dan SLB
1. Internal
a. Kekuatan
1. Institusi ini berafiliasi di bawah Dinas Pendidikan Propinsi dan mendapatkan tunjangan daerah, dan mereka diberikan kebebasan untuk mencari dana dari sumber-sumber lainnya dalam memperluas pelayanan.
2. Tenaga pendidik sudah disediakan Dinas Pendidikan dengan kualifikasinya adalah Sarjana (S1) Pendidikan Luar Biasa, sedangkan pengalaman guru dan pengurus dalam memberikan pelayanan bagi penyandang cacat mutlak diperlukan karena anak-anak penyandang cacat adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus (Special Need’s).
3. Memiliki prosedur pelayanan yang sudah standar, hingga tahapan-tahapan dalam pemberian pelayanan sudah jelas dan memudahkan dalam melihat kemajuan klien (penyandang cacat) setelah mendapatkan pelayanan.
4. Pelayanan bagi penyandang cacat di sekolah luar biasa (SLB) dan Yayasan adalah pelayanan yang bersifat pendidikan dan keterampilan (Life Skill) yang bisa dijadikan modal dalam berwiraswasta
b. Kelemahan
1. Keluarga penyandang cacat dan masyarakat belum menjadi target utama dalam pemberian pelayanan.
2. Dalam pendanaan menjadi suatu permasalahan klasik untuk mengembangkan pelayanan, oleh karena itu dengan keterbatasan dana yang didapatkan dari pemerintah menyebabkan fasilitas-fasilitas dalam memberikan pelayanan belum maksimal.
3. Kurangnya aksesibilitas ke lembaga donor dan SDM yang kurang pada yayasan-yayasan penyandang cacat menghambat mereka untuk memperoleh bantuan dari lembaga donor.
4. Faktor Penghambat dalam keberhasilan pelayanan adalah pada sarana-prasana serta dana, sehingga pelayanan yang diberikan masih kurang optimal
5. Kesulitan yang dihadapi lebih dominan disebabkan oleh faktor kurangnya kepedulian masyarakat, pengetahuan yang rendah dan inisiatif yang kurang
6. Tidak adanya petugas Outreach khusus, tetapi dirangkap oleh guru yang bersangkutan.

2. Eksternal
a. Peluang
Kebutuhan masyarakat untuk pelayanan terhadap penyandang cacat semakin tinggi
Banyak lembaga-lembaga donor yang memiliki kepedulian atau fokus pelayanan terhadap penyandang cacat
Khusus di Jawa Barat isu mengenai penyandang cacat kembali terangkat dalam tataran pembuat kebijakan (Pemerintahan daerah) yaitu sedang di kaji ulang untuk dibentuk kembali undang-undang daerah mengenai penyandang cacat
b. Ancaman
Ada di beberapa lokasi terjadi ketersaingan untuk mendapatkan klien karena lokasinya berdekatan
kurangnya kepedulian masyarakat, pengetahuan yang rendah dan inisiatif yang kurang
Analisis SWOT Dalam Pelayanan RBM bagi penyandang cacat
1. Internal
a. Kekuatan
1. Cara Sosialisasi langsung agar penyandang cacat mengetahui adanya pelayanan oleh lembaga ini yang paling dominan dilakukan oleh Kader RBM adalah dengan tatap muka (Home Visit) dan melalui penyuluhan.
2. Keluarga penyandang cacat merupakan pihak lain yang dominan diberikan pelayanan oleh Kader RBM selain penyandang cacat
3. Sosialisasi dan pendataan merupakan partisipasi yang dominan dari masyarakat dalam pelayanan kader RBM.
b. Kelemahan
1. Bagi Kader RBM tidak dana rutin yang diberikan kepada mereka dalam melakukan pemberian pelayanan kepada klien, hal ini menyebabkan kurangnya semangat atau keseriusan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kader RBM.
2. Faktor Penghambat dalam keberhasilan pelayanan adalah pada kurangnya partisipasi aktif keluarga dan penyandang cacat. Sehingga pelayanan yang diberikan masih bersifat satu arah sehingga kurang optimal
3. Mayoritas kader RBM adalah para ibu rumah tangga sehingga mempunyai keterbatasan dalam segi waktu dan mobilitas.
4. Kesulitan yang dihadapi lebih dominan disebabkan oleh faktor kurangnya kepedulian masyarakat, pengetahuan yang rendah dan inisiatif yang kurang
5. Untuk kader RBM masih ada yang berpendidikan rendah sehingga hal ini mempengaruhi kinerja dari pelayanan yang diberikan kader RBM
6. Kurangnya monitoring dari pemerintah daerah terhadap kader RBM
2. Eksternal
a. Peluang
1. Kebutuhan masyarakat untuk pelayanan terhadap penyandang cacat semakin tinggi
2. Banyak lembaga-lembaga donor yang memiliki kepedulian atau fokus pelayanan terhadap penyandang cacat
3. Khusus di Jawa Barat isu mengenai penyandang cacat kembali terangkat dalam tataran pembuat kebijakan (Pemerintahan daerah) yaitu sedang di kaji ulang untuk dibentuk kembali undang-undang daerah mengenai penyandang cacat.
b. Ancaman
1. Kurangnya kepedulian masyarakat, pengetahuan dan inisiatif yang kurang
2. Mayoritas kader RBM adalah para ibu rumah tangga yang mempunyai keterbatasan dalam segi waktu dan mobilitas, sehingga dapat mengancam keberlangsungan pelayanan dalam suatu wilayah.
3. Kurangnya partisipasi dan kesadaran keluarga penyandang cacat dan masyarakat terhadap pelayanan RBM, yang menimbulkan kesulitan bagi kader RBM untuk melakukan pendataan dan kegiatan lainnya.
Strategi Model Perencanaan Pelayanan Bagi Penyandang Cacat di Kota Bandung
Strategi Pendukung
1) Strategi Untuk Yayasan dan SLB
SLB berusaha untuk meningkatkan pelayanan terhadap penyandang cacat melalui upaya-upaya promosi, sosialisasi dan penyuluhan. Sehingga bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan oleh yayasan dan SLB dapat diketahui dan dikenal oleh masyarakat sebagai sasaran konsumen. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam mengimplementasikan strategi ini adalah :
Memberikan iklan layanan masyarakat oleh Pemerintah Daerah mengenai pelayanan-pelayanan bagi para penyandang cacat agar tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi para penyandang cacat, hal ini dapat dilakukan melalui iklan-iklan di Televisi lokal, papan reklame dan lainnya.
Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan dilakukan oleh petugas outreach dari yayasan atau SLB yang sebelumnya telah diberikan pelatihan motivasi agar dapat meningkatkan kinerja para petugas outreach dalam menjalankan tugasnya.
Strategi integrasi horizontal, bertujuan untuk meningkatkan pengendalian pelayanan yayasan kepada para penyandang cacat di masyarakat, sehingga dapat tercipta koordinasi yang baik antara tiap-tiap lembaga pelayanan dan SLB yang ada. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah :
Membangun kemitraan antara SLB-SLB dan yayasan yang ada dalam memberikan pelayanan .
Koordinasi antara yayasan dan dengan institusi lain untuk membangun networking dan aksesibilitas untuk memperoleh bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga donor dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan pengembangan lembaga
Koordinasi antara SLB dengan sekolah biasa sehingga dapat menjangkau para penyandang cacat di sekolah-sekolah biasa.
2) Strategi Untuk RBM bagi Penyandang Cacat di Kota Bandung
Sekretariat RBM Kota Bandung berusaha untuk meningkatkan pelayanan terhadap penyandang cacat melalui upaya-upaya promosi, sosialisasi dan penyuluhan. Sehingga bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan oleh kader-kader RBM dapat diketahui dan dikenal oleh masyarakat sebagai sasaran konsumen. Kegiatan-kegiatan dalam mengimplementasikan strategi ini adalah :
Memberikan iklan layanan masyarakat oleh Pemerintah Daerah mengenai pelayanan-pelayanan bagi para penyandang cacat agar tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi para penyandang cacat, hal ini dapat dilakukan melalui iklan-iklan di Televisi daerah, papan reklame, brosur, pamflet yang diberikan kepada masyarakat umum baik melalui kader RBM sendiri atau melalui institusi-institusi pemerintah daerah seperti sekolah-sekolah dan lainnya.
Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan dilakukan oleh Sekretariat RBM Kota Bandung terutama dalam sekolah-sekolah umum dan melalui kegiatan PKK di wilayah-wilayah Kota Bandung. Sosialisasi ini dapat dilakukan oleh kader RBM sendiri namun mereka harus dibekali pelatihan motivasi dan pengembangan diri bagi kader RBM agar lebih memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Strategi Umum Model Perencanaan Pelayanan Bagi Penyandang Cacat di Kota Bandung
Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut maka dapat ditarik strategi umum yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung, yaitu :
“Strategi Peningkatan Pelayanan Terhadap Penyandang Cacat Melalui Kolaborasi dan Sinkronisasi Program Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat Dengan Pelayanan Sekolah Luar Biasa Dalam Bentuk Kemitraan”
Pelayanan terhadap penyandang cacat tidak sepenuhnya dimiliki salah satu bagian dari institusi tetapi kegiatan pelayanan harus terkoodinasi dengan baik, hingga pelayanan yang diberikan saling menunjang. Seperti bentuk pelayanan terhadap RBM bertujuan meningkatkan kemampuan yang masih dimiliki penyandang cacat agar mandiri, sedangkan tujuan SLB adalah memberikan pelayanan berupa pendidikan dan keterampilan kepada penyandang cacat yang memiliki hak yang sama seperti warga masyarakat lainnya. Dengan demikian pelayanan-pelayanan tersebut dapat disinkronisasikan untuk memperoleh hasil yang baik.
Bentuk kemitraan ini dapat dijadikan subsidi silang dalam memperoleh pendapatan/dana seperti kader RBM juga dijadikan petugas outreach SLB, hal ini sangat membantu SLB untuk mengembangkan pelayanan-pelayanannya, sedangkan bagi kader RBM sendiri memiliki tanggung jawab dan motivasi lebih tinggi karena adanya pendapatan atau gaji/upah tambahan dari SLB itu sendiri.
Bentuk kemitraan yang dimaksud bukan meleburkan program RBM dengan kegiatan-kegiatan pada SLB atau menggabungkan RBM dengan SLB, tetapi masing-masing tetap memberikan pelayanan sesuai dengan tujuannya. strategi ini mengembangkan pelayanan yang mensederajatkan antara pelayanan SLB dengan pelayanan dari kader RBM, sehingga kedua bentuk pelayanan ini saling membutuhkan, menghidupkan dan membesarkan.
Nama Dan Tujuan Program
Berdasarkan strategi umum tersebut, maka dapat disusun suatu strategi bentuk pelayanan terhadap penyandang cacat, yaitu :
”Program Sekolah Luar Biasa (SLB) Berbasis Masyarakat”
Tujuan pelayanan
Mengembangkan pelayanan bagi penyandang cacat yang dibina oleh SLB dengan cara melibatkan para kader RBM dalam pelayanan-pelayanan outreach (penjangkauan) SLB, dengan kata lain kader RBM dalam masyarakat berperan pula sebagai petugas outreach bagi SLB.
Tidak ada perubahan dalam setiap program-program yang diberikan oleh RBM melalui kadernya maupun program dari SLB. Tetapi program-program tersebut harus saling mendukung, seperti: fungsi kader RBM dalam menjangkau penyandang cacat di wilayahnya dapat dimanfaatkan oleh SLB untuk menjaring para penyandang cacat yang belum tersentuh pelayanan apapun, atau kegiatan pelayanan yang diberikan di dalam SLB, dapat ditindak lanjuti dengan pelayanan yang diberikan kader RBM di masyarakat contohnya pembelajaran yang dilakukan oleh SLB dapat didukung dengan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh kader RBM..
Setiap SLB dapat memiliki beberapa petugas outreach dari pihak kader RBM berdasarkan jangkauan wilayahnya, pembagian kader RBM ini disesuaikan dengan lokasi dan kebutuhan penjangkauan dari SLB yang bersangkutan. Kader RBM juga dapat mendapatkan manfaat dari pelayanan yang diberikan SLB di wilayahnya, baik dari segi materi maupun dalam memperluas lembaga rujukan bagi kegiatan RBM bagi para penyandang cacat yang belum tersentuh oleh pelayanan.
Bentuk kemitraan ini dapat dijadikan subsidi silang dalam memperoleh pendapatan/dana seperti kader RBM juga dijadikan petugas outreach SLB, hal ini sangat membantu SLB untuk mengembangkan pelayanan-pelayanannya, sedangkan bagi kader RBM sendiri memiliki tanggung jawab dan motivasi lebih tinggi karena adanya pendapatan atau gaji/upah tambahan dari SLB itu sendiri.
Perencanaan Pelaksanaan Program SLB Berbasis masyarakat
Pendataan kembali SLB-SLB dan kader RBM berdasarkan jangkauan wilayah pelayanannya
Mengkaji ulang kembali bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan RBM dan SLB, agar dapat diketahui bentuk-bentuk pelayanan ideal yang bisa dikolaborasikan untuk memberikan pelayanan terhadap penyandang cacat.
Membentuk kemitraan antara SLB dengan program RBM dalam bentuk melibatkan kader RBM dalam pemberian pelayanan oleh SLB
SLB dapat memiliki beberapa petugas outreach dari pihak kader RBM berdasarkan jangkauan wilayahnya, pembagian kader RBM ini disesuaikan dengan lokasi dan kebutuhan penjangkauan dari SLB yang bersangkutan.
Kader RBM berfungsi untuk mengevaluasi pelayanan yang diberikan SLB kepada penyandang cacat dan menjadi motivator bagi penyandang cacat beserta keluarganya
Pelayanan RBM tetap berjalan melalui kader-kadernya yang bertugas juga sebagai petugas outreach SLB dengan tetap mendeteksi penyandang cacat dan mampu mengimplemantasikan program RBM di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). FE UI. Jakarta.
Buku Putih Rehabilitasi Sosial Eks Penyakit Kronis. Dirjen Bina Rehab Sosial. Depsos RI, 1995.
Denzin and Lincoln. 2005. The Sage Hand Book Of Qualitative Research. Sage Publication. London
I.L. Pasiribu. 1986. Sosiologi Pembangunan. Tarsito. Bandung.
Keputusan MenSos RI No. 07/HUK/KEP/1984. tentang: Pola Dasar Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial. DEPSOS. 1984.
Lewis, Judith A., 1991, Management of Human Services Programs. California Brooks/Cole Publishing Company
Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen, Santos H. Hernandez, 1994. The Integration of Social Work Practice. Wadsworth, Inc., California
Pasiribu, Amudi. 1983. Pengantar Statistik. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rappaport, J., 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the Issue, Prevention In Human Issue. USA.
Siegel, S. 1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT. Gramedia. Jakarta.
Silverman, David. 2005. Interpreting Qualitative Data, Methods for Analysing Text and Interactional. Sage Publication. London
Skidmore, Rex A. Social Work Administration, Dcnamic Management and Human Relatiobship. Allyn and Bacon. A Simon & Schuster Company. USA.
Soetarso, 1995. Praktek Pekerja Sosial. KOPMA STKS Bandung.
Soeweno, Inten. 1998. Kesejahteraan Sosial Menuju Abad XXI, Jakarta.
Sugiyono, 2004. Statistika Untuk Penelitian. CV. Alfabeta. Bandung
Suharto, Edi. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Spektrum Pemikiran. Lembaga Studi Pembangunan LSP-STKS Bandung.
Swift, C., & G. Levin, 1987. Empowerment: An Emerging Mental Health Technology, Journal of Primary Preventio. USA.
Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Jawa Barat., 1999 hal: 5-8, Batasan Pengertian Operasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial.
Somantri, Sutjihati, 2006 Hal.121-125. Psikologi Anak Luar Biasa. PT. Refika Aditama, Bandung.