Minggu, 16 Desember 2007

MANAJEMEN KOLABORASI RESOLUSI KONFLIK DALAM PERKELAHIAN ANTAR WARGA DI DAERAH PERKOTAAN (Studi Kasus : Palmeriam dan Berland di Jakarta Timur)

Oleh: DR.Soni Akhmad Nulhaqim.S.Sos.M.Si

A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian tentang manajemen kolaborasi resolusi konflik mengenai perkelahian antar warga, Studi Kasus : antara warga Palmeriam dan Berland di Jakarta Timur ditujukan untuk mengkaji konflik yang berbentuk kekerasan, bersifat horizontal dan bertempat daerah perkotaan serta resolusi-resolusi yang telah dilakukan dalam penyelesaiannya, yang kemudian membangun model resolusi konflik dengan menggunakan manajemen kolaborasi antara pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan masalah tersebut. Di Indonesia, konflik dengan kekerasan sudah ada sejak zaman pra-Kolonial, hingga sekarang. Setelah perjuangan kemerdekaan, selama lima puluh tahun pertama Indonesia dilanda berbagai konflik kekerasan yang berkaitan dengan separatisme, pembagian kekuasaan dan sumber daya, konflik-konflik yang berkembang seperti konflik komunal, konflik antar suku, konflik sosial, konflik politik dan konflik agama. (Smith dab bouvier, 2005 :1). Konflik sosial yang terjadi di Indonesia didahului oleh gejala-gejala tertentu. Gejala tersebut ditandai oleh adanya struktur masyarakat yang bersifat pluralistis multidimensional yang memungkinkan timbulnya konflik sosial secara horizontal maupun vertikal (Nasikun, 1974: 61).
Fenomena konflik kekerasan di Indonesia semakin meningkat menyusul runtuhnya pemerintahan orde baru dan diikuti oleh konflik di beberapa daerah, termasuk konflik separatis di Aceh dan Papua , dan antar golongan di Kalimantan, Sulawesi tengah dan Maluku (Smith dab bouvier, 2005 :1). Kekerasan yang terjadi sejak peristiwa kerusuhan Mei 1997 terkait dengan berbagai konteks politik. Kekerasan dan kerusuhan merebak menjadi sebuah fenomena yang terjadi dimana-mana. Sebagai salah satu contoh catatan Litbang Republika sekurang-kurangnya terjadi 64 kasus kekerasan. 49 kasus (76 %) diantaranya terjadi ditengah suasana politik dan kampanye pemilu 1997. Sisanya 14 kasus (2,1 %) terjadi diluar prosesi pemilu. Apapun bentuknya, kekerasan adalah realitas multidimensi yang tidak dapat dipisahkan antara kekerasan yang satu dengan yang lain. (Dom Helder Camara; 2000;xi). Menurut Galtung (2003: 90-103), kekerasan itu dapat dilakukan secara langsung (kekerasan langsung), dapat juga tidak langsung, yakni melalui proses struktural (kekerasan struktural) dan kultural (kekerasan kultural).
Dengan demikian, konflik kekerasan merupakan sesuatu yang dapat berdampak pada integritas vertikal maupun horizontal. Persoalan Integritas vertikal akan muncul disintegrasi bangsa sebagai sesuatu yang mesti dihindari dan dikelola supaya tidak terjadi mengingat disintegrasi vertikal merupakan hasil akumulasi kasus kekerasan yang berkembang di berbagai daerah dalam hubungannya antara rakyat dan pemerintah. Begitupun dengan kekerasan horizontal dapat mengakibatkan disintegrasi masyarakat. Bahkan konflik vertikal dan konflik horizontal memiliki keterkaitan.
Menurut James J. Colemen dan Carl G. Rosberg, ada dua dimensi utama konsep integrasi yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal sering disebut sebagai integrasi politik yang mencakup masalah yang timbul dalam hubungan negara dan masyarakat. Sedangkan integrasi horizontal bersifat kultural dan karena itu mencakup persoalan ketegangan hubungan diantara berbagai kelompok kultural dalam masyarakat itu sendiri. Tim peneliti LIPI (2001 : 22) mengemukakan bahwa Konflik-konflik yang bersifat horizontal bersumber dari konflik vertikal antara negara masyarakat yang dipindahkan ditingkat lokal. Demikian pula, tidak mustahil apabila konflik-konflik yang bersifat vertikal pada akhirnya bisa meluas menjadi konflik horizontal karena setiap kelompok dalam masyarakat terjebak pada kebenaran subjektif kelompok atau golongannya masing-masing (2001 : 22)
Berbagai analisis juga dikemukakan para pengamat sosial guna mencari akar masalah konflik horizontal tersebut. Menurut Malarangeng4 terdapat tiga penjelasan tentang akar konflik horizontal, yaitu: (1) Konflik sebagai akibat konspirasi kelompok-kelompok tertentu; (2) Penyebab konflik adalah kesenjangan ekonomi; (3) Konflik merupakan konsekuensi dari represi militer yang dipraktikkan Soeharto selama tiga dekade masa pemerintahan.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia konflik – sekurang-kurangnya dalam pengertian perbedaan – pendapat bukanlah suatu gejala sosial yang perlu dihindari. Konflik dalam pengertian perbedaan pendapat itu justru merupakan sesuatu yang melekat pada setiap masyarakat, apalagi masyarakat majemuk. Malah, konflik diperlukan dalam rangka mencapai konsensus atau kesepakatan yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Hanya saja persoalannya menjadi lain jika konflik itu berlangsung pada skala yang sangat masif, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa keluarga-keluarga yang kebetulan berbeda tempat tinggal saling melukai hanya lantaran dendam kesumat sesaat, yang tak pernah diungkapkan secara jelas dari mana dan untuk apa dendam itu diintrodusir ke tengah masyarakat.
Konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial setiap masyakat; dan sering merupakan prasyarat yang diperlukan untuk perubahan sosial. Karena itu, kunci untuk itu adalah mencari cara-cara untuk mengekspresikan konflik melalui cara-cara tanpa kekerasan. Thung (2005 : 89). Kebutuhan akan berbagai model penyelesaian konflik sangat diperlukan untuk membangunan masyarakat harmoni yang sesuai situasi dan perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya Resolusi konflik yang selama ini dilakukan melalui tiga cara yaitu melalui mekanisme litigasi, non litigasi dan pendekatan pranata adat lokal. Litigasi yaitu menggunakan jalur pengadilan untuk menyelesaikan suatu perkara. Kemudian non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR) yaitu resolusi konflik alternatif meliputi negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase, serta resolusi dengan menggunakan pendekatan tradisional masyarakat lokal.
Dalam proses penyelesaiannya, resolusi konflik biasanya menekankan pada pihak-pihak yang secara langsung terlibat dengan konflik sehingga kecenderungan ada pihak-pihak yang berusaha melanggar kesepakatan yang telah dibangun ataupun juga muncul ketidakpuasan dari salah satu pihak, mengingat proses jalannya resolusi dianggap tidak memenuhi keadilan dan akhirnya cara penyelesaian secara berlarut-larut dan bersifat mengambang. Konflik yang berlarut-larut, apalagi dalam suasana kevakuman pemerintah lokal, tentu tak hanya menyita energi yang tak perlu, melainkan juga bisa melemahkan daya tahan masyarakat lokal itu sendiri. Lebih jauh lagi, konflik dan gejolak politik tersebut bermuara pada disintegrasi sosial yang pada gilirannya bisa mengancam integrasi nasional.
Mengurai dan memetakan konflik serta gejolak lokal bukanlah persoalan sederhana, karena itu pula penyelesaian yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang bersifat teknokratis-birokratis tidak pernah bisa menjadi jalan keluar. Penyelesaian yang cenderung bersifat tambal sulam, namun faktanya konflik terus berlangsung mengingat belum menjawab apa sebenarnya yang diinginkan oleh masyarakat. Disisi lain, kecenderungan banyak kalangan termasuk pemerintah, untuk mengkambinghitamkan ”provokator” tanpa upaya serius untuk menjernihkan siapa/kelompok mana yang dimaksud, akhirnya bermuara pada lingkaran setan yang tidak berujung. Sementara itu, provokator yang sesungguhnya – yang tanpa merasa bersalah atau ”berdosa” mengadu domba masyarakat kita ditingkat akar-rumput tak pernah tersentuh oleh hukum. Tuduhan atas ”provokator” ataupun pengungkapan atas perbuatan yang keji yang dilakukannya, selalu berhenti sebagai pernyataan pers (Tim Peneliti LIPI, 2001 : 25-26).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian konflik sangat diperlukan untuk mengatasi atau meresolusi konflik dan perlu menelusuri pihak-pihak yang terlibat konflik, darimana pemikiran mereka berasal, bagaimana pemikiran mereka mempengaruhi cara mereka berhubungan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik, dan apa dampak dari kebijakan yang mereka sarankan serta bagaimana mengatasi konflik lain. Thung (2005 : 82) mengemukakan penelitian konflik memusatkan perhatian pada: (1) kronologis setiap konflik kekerasan, dengan fokus pada tahap-tahap pra konflik, konflik dan pasca konflik; (2) melakukan analisis mengenai akar-akar konflik, termasuk bias kebijakan pemerintah, kesenjangan ekonomi dan politik, atau apa yang dengan nada gusar sering dinamakan kecemburuan sosial; serta (3) penelitian yang mengambil sebagai titik tolak pengertian bahwa konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial setiap masyarakat, dan sering merupakan prasyarat yang diperlukan untuk perubahan sosial.
Penelitian ini memfokuskan pada akar-akar konflik dan resolusi-resolusinya serta membangun model resolusi yang melibatkan stakeholder (kolaborasi) dalam menyelesaikan serta mengelola konflik sehingga tidak berkembang menjadi konflik kekerasan. Kasus yang diangkat adalah konflik daerah perkotaan.
Jakarta yang menjadi ibu kota negara dipenuhi dengan titik- titik konflik dari berbagai jenis dan tingkatan. Menurut studi para peneliti Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), bulan Maret 2001 hingga Maret 2002, ada 135 titik konflik yang tersebar di Jakarta. titik-titik konflik itu tersebar di beberapa kelurahan, antara lain di Palmeriam, Kebon Manggis, Pejagalan, Gambir, Koja Selatan, Cipinang Muara, Menteng Atas, Pejaten Timur, Grogol Atas, Melawai, Galur Kwitang, Manggarai, Pademangan Barat, dan Tanjung Duren.
Hampir seluruh konflik di ibu kota berakar pada masalah ekonomi yang meliputi kesenjangan kaya dan miskin, persaingan di lapangan kerja sektor informal, atau minimnya fasilitas umum. Pemicu konflik itu sendiri tidak terlalu jelas, tetapi itu hanyalah satu mata rantai dari seluruh rangkaian konflik. Konflik-konflik tersebut menimbulkan trauma dan menghancurkan tata hubungan sosial. Warga biasanya akan meninggalkan daerah konflik menuju tempat tinggal baru.
Menurut Tomagola, konflik diperparah dengan hilangnya kepercayaan masyarakat pada kata-kata perdamaian dan cenderung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik. Ini menunjukkan gagalnya pemerintah mengatur negara. Konflik terjadi akibat buntunya tata lembaga yang ada, seperti kejaksaan, polisi, dan pengadilan. Konflik berakar pada masalah ekonomi dan politik. Di Jakarta, konflik semakin ruwet akibat bercampurnya isu suku, agama, dan ras. Selanjutnya, upaya yang perlu dilakukan redistribusi aset ekonomi maupun politik untuk menekan munculnya konflik-konflik itu. Keadaan tersebut menggambarkan Jakarta sebagai Ibu Kota nasional menyimpan potensi konflik yang begitu besar.
Latar belakang tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terjadinya perkelahian antar warga di Jakarta. Seperti misalnya perkelahian yang terjadi antara warga Palmeriam dan Berland di Matraman, Jakarta Timur. Bagi warga Jakarta, Jalan Matraman di Jakarta Timur, tentu tidak asing lagi wilayah ini amat terkenal dengan perkelahian antar warga, kejadian tersebut jelas-jelas menganggu dan bahkan merugikan kehidupan warga Jakarta pada umumnya.
Penelitian ini menjadi penting untuk lebih memahami bagaimana menyelesaikan konflik di daerah perkotaan dan hambatan-hambatannya. Sumbangan yang dapat diberikan adalah mendorong berbagai pihak untuk berkolaborasi dalam penyelesaian konflik mengingat stakeholder memperoleh dampak negatif dari adanya konflik dan bahkan juga secara tidak disadari ataupun disadari berkontribusi pada terjadinya konflik.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan konflik kekerasan berupa perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland
2) Bagaimana resolusi-resolusi konflik kekerasan yang dilakukan untuk mengatasi dan mengendalikan terjadinya perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland
3) Apakah manajemen kolaborasi resolusi konflik dapat menyelesaikan perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 . Maksud
Maksud penelitian ini adalah untuk mencari dan melakukan analisis konflik kekerasan dan resolusi konflik yang dapat menyelesaikan dan mengendalikan terjadinya perkelahian antar warga di perkotaan.
1.3.2 . Tujuan
1.) Mengemukakan dan melakukan analisis faktor-faktor yang menyebabkan konflik kekerasan berupa perkelahian antara Warga di daerah perkotaan.
2.) Mengemukakan dan melakukan analisis resolusi-resolusi yang telah dilakukan baik melalui proses litigasi maupun non litigasi.
3.) Membangun model manajemen kolaborasi resolusi konflik untuk menyelesaikan dan mengendalikan konflik kekerasan di daerah perkotaan.

1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian memiliki dua kegunaan utama yaitu:
1.) Pengembangan Ilmu, berupa sumbangan teoritik dalam menambah dan memperkaya kajian ilmu-ilmu sosial dan khususnya pengembangan sosiologi yaitu teori-teori konflik dan resolusi konflik.
2.) Secara praktis (atau aspek guna laksana), hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan alternatif pemecahan terhadap penyelesaian konflik bagi semua stakeholders. Disamping itu, bagi peneliti diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (eksperience) yang berharga dalam menganalisis suatu fenomena dan membandingkan dengan teori-teori yang dipelajari.

B. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Pengkajian dilakukan terhadap 9 disertasi yang telah diteliti sebelumnya, yaitu Ida Bagus Gde Yudha Triguna (1997), Sunatra (1997), Aam Hamdani (1997), Ridwan (2003), Soelaeman (2003), Dirk Veplun (2004), Lely Arranie (2005), Yohanes Bahari (2005), Muhanto AQ (2005), kemudian beberapa penelitian tesis yaitu Yazid Fanani (2001), Idawati H. M Yara (2002), Chairil Anwar Adjis (2003), Zulfahmi (2003), Arsyad (2003), Ridwan (2003). Hasil pengkajian penelitian terdahulu ini bertujuan untuk membandingkan hasil penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti hingga dapat memberikan masukan-masukan bagi peneliti.
2.2. Kerangka Pemikiran
Galtung mengemukan bahwa konflik kekerasan dikategorikan menjadi tiga konsep yaitu kekerasan kultural, kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Preposisi yang menjelaskan keterkaitan ketiganya adalah kekerasan kultural melegitimasi kekerasan struktural dan mengakibatkan kekerasan langsung.
kekerasan kultural dilihat faktor-faktor kultural yang melegitimasi terjadinya konflik kekerasan struktural dan langsung. Faktor kultural ini berupa simbol-simbol dalam dimensi kultural. Dimensi-dimensi kekerasan kultural adalah agama, ideologi, bahasa, seni, ilmu pengetahuan dan hukum, media, dan pendidikan. Dimensi agama, yaitu menjelaskan paham agama yang dapat menyebabkan kekerasan, seperti konsep jihad pada agama Islam, orang-orang pilihan dalam konsep Yahudi.
Kemudian ideologi, dapat berbentuk pemikiran berupa paham, pandangan hidup, cita-cita dan nilai-nilai serta kepercayaan yang dipergunakan untuk membenarkan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan. Pola pikir untuk menerjemahkan kenyataan dalam masyarakat berbeda diantara suku bangsa atau bangsa bahkan kelompok masyarakat kecil. Ideologi yang berkembang dapat dijadikan pemahaman untuk melakukan kekerasan seperti ideologi kenegaraan pada Kekaisaran Jepang, Britania Raya, Jerman Nazi, Kekaisaran Romawi Baru di bawah Mussolini, ekspansi Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia menjadi Republik Sosialis Uni Soviet dan pemerintahan Stalin yang belakangan, Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein, dan Amerika Serikat pada masa Manifest Destiny dan pembaharuan tentaranya, Ideologi militeristik, kemudian ideologi demokrasi. Ideologi tersebut melegitimasi kekerasan struktural dan kultural jika dipergunakan untuk membenarkan semua aktivitas dalam rangka mencapai tujuan. Dimensi kultur lainnya yaitu bahasa, didalamnya sarat simbol-simbol yang mengandung kekerasan yaitu bahasa yang kasar dan mengandung kekerasan yang dipergunakan dalam kehidupan. Dalam perkembangannya bahasa ini terus berkembang terutama bahasa yang pakai sehari-hari yang berguna untuk berinteraksi tiap kelompok orang memiliki simbol bahasa yang berbeda-beda, seperti bahasa gaul lebih banyak dipakai oleh golongan tertentu saja. Dengan demikian bahasa dapat dipakai sebagai simbol untuk mengidentifikasikan kelompoknya.
Kemudian dimensi seni, yaitu seni merupakan luapan kreativitas manusia yang paling dikenali dan dianggap sebagai keunggulan daya cipta manusia. Terdapat simbol-simbol ini merupakan gambaran idea tertentu, untuk menyampaikan sama ada kepercayaan, idea, rasa, atau perasaan seseorang. Dimensi Ilmu Pengetahuan dan Hukum, menjelaskan ilmu pengetahuan adalah proses memperoleh pengetahuan, atau pengetahuan terorganisasi yang diperoleh lewat proses tersebut. Sedangkan hukum adalah suatu tatanan untuk tercapainya keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat maka hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat.
Dimensi selanjutnya dalam kultural adalah pendidikan, yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Maka pendidikan ini sangat berperan terutama penurunan nilai-nilai dari keluarga kepada anak-anaknya. Dimensi terakhir yaitu media. Fungsi media sangat penting dalam komunikasi masa karena media adalah alat untuk menyampaikan informasi. Maka isi media dapat menimbulkan opini publik dan pemberitaan-pemberitaan di dalamnya dapat mempengaruhi pembacanya.
kekerasan struktural yaitu kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial. Kekerasan struktural ini memiliki dua dimensi yaitu dimensi ekonomi dalam bentuk eksploitasi dan dimensi politik dalam bentuk represif. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan-perbuatan (melukai, merusak bangunan dan simbol-simbol lawan, menyiksa dan membunuh). Kekerasan langsung ini sangat mudah diidentifikasi dan terlihat karena merupakan manifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.
Untuk resolusi litigasi, peneliti menggunakan pandangan dari Emile Durkheim yang menaruh perhatian utama terhadap kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang dijumpai di masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang bersanksi, berat ringannya suatu sanksi senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian, maka kaidah-kaidah hukum dapat diklasifikasikan menurut jenis sanksi yang menjadi bagian utama dari kaidah hukum tersebut. Durkheim menemukan 2 (dua) macam kaidah dalam masyarakat, yaitu kaidah yang represif dan kaidah yang restitusif.
Kaitan antara kaidah-kaidah hukum dengan tipe solidaritas masyarakat Durkheim berpendapat bahwa kuatnya Solidaritas Organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) daripada yang bersifat represif. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat; hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang heterogen (masyarakat perkotaan dalam hal ini masyarakat Matraman). Karena itu sifat hukuman yang diberikan kepada seorang penjahat berbeda dalam hukum itu.
Solidaritas mekanik dapat dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang relatif sederhana dan homogen, menurut Durkheim, pada tipe masyarakat ini berkembang hukum yang bersifat represif, hal ini disebabkan oleh karena pelanggaran pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan keyakinan bersama, dalam hal ini maka seluruh masyarakat akan bertindak bersama-sama oleh karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok dalam masyarakat.
Durkheim mencoba menghubungkan hukum dengan struktur sosial, hukum dipergunakan sebagai alat diagnosis untuk menemukan syarat-syarat struktural bagi perkembangan solidaritas masyarakat. Hukum dilihatnya sebagai dependent variable, yaitu suatu unsur yang tergantung pada struktur sosial masyarakat; akan tetapi hukum juga dilihatnya sebagai suatu alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Durkheim juga menyebutkan bahwa hukum tertulis mempunyai tujuan ganda yaitu untuk menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dan untuk merumuskan sanksi-sanksinya.
Dalam mengambil alih keputusan dari pihak-pihak, dalam batas tertentu litigasi sekurang-kurangnya menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. Sebagai suatu ketentuan umum dan proses gugatan, litigasi sangat baik untuk menemukan kesalahan dan masalah posisi pihak lawan. Litigasi juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan. Selain menjamin perlakuan kepada para pihak, kesempatan untuk didengar, menyelesaikan sengketa, dan menjaga ketertiban umum, litigasi juga memiliki kebaikan dalam membawa nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Sedangkan dalam mekanisme pengadilan atau penegakan hukum, Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum pada hakikatnya mencakup lingkup yang luas sekali, dikatakan luas sekali karena penegakan hukum tersebut mencakup lembaga-lembaga yang menerapkannya yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksana atau penegak hukum (seperti polisi, jaksa, hakim) dan segi-segi administratif dilakukan proses seperti proses pengusutan atau penyidikan, penahanan, persidangan hingga vonis. Pada hakikatnya hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat karena hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Hukum mempunyai tujuan untuk menjamin keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum.
Konflik kekerasan mengenai perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland dapat diselesaikan melalui cara non litigasi atau ADR mengingat cara ini dapat menyelesaikan konflik dengan terbangun kesepakatan yang bersifat win-win solution untuk kedua pihak yang berkonflik merasa menjadi pihak yang menang atau tidak ada pihak yang kalah, kemudian penyelesaiannya secara komprehensif mengingat masing-masing pihak dapat menjelaskan masalah-masalah yang dianggap mengganggu yang menjadi penyebab retaknya hubungan serta dilakukan secara bersama-sama atau juga bisa melibatkan pihak ketiga yang disepakati bersama, yang akhirnya hasilnya disepakati bersama sehingga hubungan kedua belah pihak akan terjalin dengan baik.
Dalam pandangan Miall konflik tidak lagi dianggap sebagai hal yang harus dihilangkan, namun menurut Miall justru meresolusi konflik dapat dilakukan dengan membangun hubungan antar manusia dengan lebih baik, maka Miall secara implisit merumuskan penyelesaian konflik yang hasilnya bersifat menang-menang (win-win solution) dan juga merumuskan mengenai campur tangan (intervensi) pihak ketiga dalam upaya resolusi damai konflik terutama mengenai proses mediasi, mediasi mempunyai arti penting dalam riset dan praktek perdamaian di tengah-tengah konflik dunia pada akhir abad kedua puluh.
Gagasan pembentukan perdamaian ”dari atas ke bawah”, dan pihak luar yang berkuasa bertindak sebagai seorang ahli. Menurut Miall, karena beragamnya sumber konflik kontemporer dan keadaan politik yang kompleks, maka diperlukan respon pada tingkatan yang berbeda, tekanan yang lebih besar ditempatkan pada pengintegrasian tingkatan yang berbeda dan pembentukan perdamaian serta penyelesaian konflik perlu bekerja dalam negara-negara yang terlibat, dengan penekanan khusus pada pentingnya proses dari bawah ke atas. Dalam sebuah konflik ada kemungkinan masuknya pihak ketiga yang dapat mengubah struktur konflik dan menimbulkan sebuah pola komunikasi yang berbeda. Intervensi pihak luar sebagai pihak ketiga tidak lagi dilihat sebagai penanggungjawab primer namun diapresiasikan sebagai peran internal pihak ketiga atau pencipta perdamaian setempat. Penekanannya bukan pada pihak luar menawarkan pencarian untuk mengatasi konflik dalam usaha mediasi, tetapi keperluan untuk membangun konstituensi dan kemampuan dalam masyarakat dan belajar dari kebudayaan domestik bagaimana menangani konflik secara berkelanjutan. Intervensi pihak ketiga tersebut dapat bertindak sebagai arbiter (dengan atau tanpa izin pihak-pihak yang bertikai), atau dapat mencoba memfasilitasi negosiasi atau menjadi mediator antara pihak-pihak yang terlibat.
Rumusan mengenai bentuk-bentuk penyelesaian secara damai konflik kekerasan yang terjadi di Matraman, penulis menggunakan pendapat dari Nasikun dan Adolf, yang menguraikan bahwa pengendalian koflik di luar litigasi dapat dilakukan melalui Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrse.
Dalam manajemen kolaborasi, penulis memakai pemikiran dari Marshall, yang mempunyai pandangan bahwa kolaborasi merupakan cara untuk memberdayakan diri, menyediakan pondasi bagi pola hubungan dalam setting apapun, dan dapat dijadikan untuk menanggulangi konflik, persengketaan, dan perbedaan pendapat tanpa harus berkompromi pada individualitas masing-masing. Yang pada akhinya kolaborasi, memberikan (menyediakan) sebuah kerangka kerja untuk integrasi sehingga kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Lebih lanjut Marshall juga menambahkan bahwa kolaborasi merupakan prinsip dasar dari proses kerja sama, yang menghasilkan kepercayaan, integritas, dan hasil-hasil yang berkembang dengan membangun konsensus nyata (sejati), hak milik, dan kesetaraan/kesederajatan dalam segala aspek.
Manajemen kolaboratif itu pada dasarnya merupakan metode resolusi konflik secara kolaboratif, yaitu suatu resolusi yang menempatkan setiap stakeholder dalam kedudukan yang sederajat. Marshall merumuskan 5 (lima) bentuk penanganan konflik sebagai sebagai berikut : kompetisi, pengabaian, akomodasi, kompromi, kolaborasi. Dalam hal ini penulis lebih memilih bentuk penanganan yang terakhir yaitu Kolaborasi yang oleh Marshall dirumuskan sebagai bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi. Dengan demikian, kolaborasi itu merupakan resolusi konflik yang akan menghasilkan situasi menang-menang dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu atau keputusan yang bersifat zero-sum. Dengan demikian, manajemen kolaborasi resolusi konflik mengandung makna suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, pendapat yang lebih khusus mengenai manajemen kolaborasi, penulis menggunakan pandangan Tadjudin. Pandangan-pandangan dari Tadjudin tersebut mengungkapkan mengenai dua preposisi dalam manajemen kolaborasi resolusi konflik, interaksi stakeholder dan azas-azas dalam manajemen kolaborasi.

Pihak
2
Konflik Kultural: Agama, Ideologi, Bahasa, Seni, Ilmu Pengetahuan dan Hukum, Pendidikan, dan Media
Konflik Struktural: Dimensi Ekonomi (eksploitasi) dan Dimensi Politik (Represif)
Konflik Langsung
Konflik Kekerasan : Galtung

Resolusi Konflik Non litigasi :
Miall
Pihak 1
Pihak 3
Mediasi Konsiliasi
Arbitrase
Negosiasi
pengadilan sampai putusan/ vonis Hakim
Resolusi Konflik Litigasi
Durkheim
Penuntutan
Penyidikan
Manajemen Kolaborasi
Resolusi Konflik
Marshall
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Lembaga Penyangga

(Lingkungan konflik).



Ket:
Stakeholder:
Pihak 1 dan Pihak 2 : Masyarakat yang bersengketa
Pihak 3 : Pemerintah, Aparat Keamanan
(Polisi), Swasta dan LSM


Gambar 1
Skema Kerangka Pemikiran Faktor Penyebab, Kontruksi Konflik Dan Resolusi
2.3. Hipotesis Kerja
(1). Konflik kekerasan langsung berupa perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland disebabkan oleh faktor struktural dan dilegitimasi oleh faktor kultural.
(2). Resolusi konflik kekerasan antara warga Palmeriam dan Berland dilakukan melalui proses litigasi (peradilan) dan non litigasi (negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi).
(3). Manajemen kolaborasi resolusi konflik dapat menyelesaikan perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland melalui penerapan asas-asas manajemen kolaboratif yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi.

C. OBJEK DAN METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah manajemen kolaborasi resolusi konflik dalam perkelahian antar warga di daerah perkotaan. pendekatan penelitiannya adalah kualitatif dengan teknik studi kasus. Data yang diperlukan terdiri data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif yaitu mengenai Konflik Kekerasan mengenai perkelahian antar warga Palmeriam dan Berland di Matraman Jakarta Timur dengan mengkaji tentang: Sebab-sebab Faktor Kultural konflik kekerasan tersebut yaitu kekerasan yang berasal dari kultur/budaya. Sebab-sebab faktor struktural konflik kekerasan tersebut yaitu kekerasan kekerasan yang berasal dari keadaan struktur sosial. Konflik Kekerasan Langsung yaitu Peristiwa-peristiwa konflik manifes atau terbuka antara warga Berland dan Palmeriam pada era reformasi. Kemudian mengenai resolusi-resolusi yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi atau ADR. ,
Teknik pengumpulan data ialah dengan pengamatan di lapangan, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Sementara itu, teknis analisis data yang digunakan adalah Tahap pertama, adalah reduksi data, Tahap kedua, data yang telah dikelompokkan kemudian disusun dalam bentuk narasi sehingga membentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan masalah penelitian, Tahap ketiga pengambilan kesimpulan berdasarkan susunan narasi yang telah disusun pada tahap kedua, sehingga dapat memberikan jawaban atas masalah penelitian, Tahap keempat, melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informasi yang didasarkan pada kesimpulan tahap ketiga

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Konflik Kekerasan Kelompok Palmeriam Dan Berland
Konflik kekerasan dalam bentuk perkelahian antar warga merupakan suatu fakta sosial dalam hubungan antar manusia. Konflik kekerasan dikategorikan menjadi tiga konsep yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Ketiga konsep tersebut digunakan untuk memberikan penjelasan tentang penyebab perkelahian antar warga, dengan preposisi bahwa kekerasan langsung disebabkan oleh kekerasan struktural dan dilegitimasi oleh kekerasan kultural.
4.1.1. Konflik Kekerasan Langsung Palmeriam-Berland (Manifes)
Konflik kekerasan langsung Palmeriam-Berland merupakan konflik yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan-perbuatan bersifat melukai, merusak bangunan dan simbol-simbol lawan, menyiksa dan membunuh. Kekerasan ini besifat manifes atau nyata yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Peristiwa konflik antara warga Palmeriam dan Berland yang terjadi dalam era reformasi adalah pada tahun 1999 – 2000. Dalam kurun waktu tersebut, konflik kedua warga terjadi 20 kali. Kejadian ini mendapat perhatian semua pihak baik dari pemerintah setempat sampai tingkat nasional serta dunia internasional mengingat kuantitas dan kualitas konflik yang begitu meningkat serta banyak kerugian-kerugian baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.
Konflik Laten
Galtung (2003) mengemukakan bahwa kekerasan kultural dan struktural dapat bersifat laten, karena terbentuk dari sekian lama hingga menjadi keadaan yang dapat menyebabkan kekerasan langsung. Dengan demikian keadaan kultural ini menjadi konflik laten yang dapat menyebabkan kekerasan langsung. Konflik manifes sudah berkurang dan bahkan hampir tidak terjadi semenjak akhir tahun 2001. Tetapi konflik laten yang dapat menyebabkan terjadinya konflik tetap berkembang, akibat “memorial pasionis” atau ingatan penderitaan pada konflik kekerasan dan terlebih menimbulkan jejak-jejak penderitaan berupa adanya luka yang berbekas dibadannya karena senjata tajam, senapan, lemparan batu; kemudian kerusakan bangunan yang belum direhabilitasi seperti bangunan perkantoran, rumah makan, dan rumah. Oleh karena itu masih terjadi bentrokan-bentrokan yang mengarah terjadinya konflik kekerasan yang melibatkan warga. Peristiwa-peristiwa tersebut masih dapat diantisipasi hingga tidak sampai terjadi konflik yang lebih besar. Bibit-bibit untuk terjadi konflik sangat besar karena terlihat masih ada sebab-sebab yang irrasional seperti dendam atau benci dari masing-masing pihak. Jika terjadi sedikit bentrokan fisik yang melibatkan kedua wilayah maka konflik kekerasan langsung dapat terjadi.

4.1.2. Kekerasan Struktural
Struktur sosial kelompok Berland dapat dikategorikan beberapa sub kelompok yaitu kelompok militer, kelompok keluarga militer, dan kelompok masyarakat sipil. Pola hubungan antar masyarakat didaerah Berland bernuansakan kemiliteran, dimana aspek kepangkatan dalam militer mendapatkan penghormatan yang tinggi dalam masyarakat. Keadaan tersebut dapat dipahami karena dengan kepangkatan tinggi secara ekonomi juga tinggi dan kekuasaan juga tinggi, dan menjadi orang dihormati. Sementara dengan kepangkatan rendah, maka secara ekonomi rendah, kekuasaan rendah dan status kehormatan juga rendah. Sementara struktur sosial kelompok Palmeriam dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok masyarakat asli Jakarta (suku Betawi); kelompok masyarakat yang lahir dan dibesarkan di Palmeriam tetapi nenek moyangnya luar jakarta; kelompok masyarakat pendatang.
a. Kekerasan Struktural Dalam Dimensi Ekonomi
Kekerasan struktural dalam dimensi ekonomi merupakan pola hubungan antara dua kelompok dalam sumber-sumber ekonomi yang bersifat eskploitasi, dimana suatu kelompok yang menguasai sumber ekonomi mengeksploitasinya dan tidak memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk mengelola secara bersama. Di daerah Palmeriam dan Berland memiliki sumber-sumber ekonomi yang memadai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Sumber ekonomi tersebut dapat diperoleh melalui kompetisi yang rasional, dimana orang yang memiliki SDM yang berkualitas maka orang tersebut dapat memanfaatkan dan menikmatinya. Namun pada kenyataannya, orang-orang yang menikmati sumber ekonomi tersebut pada umumnya berasal dari luar dari kedua daerah tersebut, kalaupun ada terbatas pada posisi teknis dan lebih bernuansa social responsibility dalam makna terbatas.
Sumber ekonomi informal yang paling potensial dan selalu diperebutkan hingga sekarang adalah parkir liar, ‘japrem’ dan lahan publik untuk berusaha menjadi ajang perebutan dari kelompok pemuda Palmeriam dan Berland. Kelompok pemuda yang memenangkan perebutan sumber ekonomi informal memanfaatkan dan menikmatinya tanpa memberi kesempatan kepada kelompok pemuda yang menjadi seterunya. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap sumber sumber ekonomi yang ada. Kelompok pemuda yang kalah merasa teralienasi dari lingkungannya yang memberikan sumber ekonomi.
b. Kekerasan Struktural Dalam Dimensi Politik
Kekerasan struktural dalam dimensi politik merupakan pola hubungan antara kedua kelompok yang bersifat represif. Tindakan represif ini dilakukan oleh suatu kelompok yang dominan powernya atau kekuasaannya kepada kelompok yang tidak dominan. Dominasi kelompok menunjukkan bahwa kelompok memiliki kekuatan baik kekuatan fisik mapun non fisik sehingga punya pengaruh dalam kaitannya dengan hubungan sosial. Tindakan represif dilakukan dengan cara penekanan dan intimidasi dan provokasi.
Hubungan kelompok pemuda Palmeriam dan Berland dalam kaitannya dengan konflik kekerasan disebabkan oleh adanya tindakan represif yang dilakukan oleh kelompok pemuda dalam bentuk kekerasan berupa pemukulan, pemalakan, pelemparan, dimana biasanya pelakunya satu atau dua pemuda kepada pemuda lainnya. Tindakan represif ini menimbulkan memorial pasionis atau ingat penderitaan, yang berwujud rasa benci dan dendam. Tindakan represif yang terakumulasi akan memperkuat untuk melakukan tindakan represif balasan.
Tindakan represif oleh individu kepada individu yang lainnya akhirnya membesar karena individu tersebut merupakan bagian dari suatu kelompok yang memiliki ikatan emosial kelompok karena ikatan kekeluargaan, ikatan kedaerahan, dan ikatan sepekerjaan. Dengan seperasaan kelompok tersebut maka terjadi perubahan hubungan represif individu menjadi kelompok sehingga posisi yang berlawanan menjadi antar kelompok. Kelompok yang dominan akan melakukan tindakan represif kepada kelompok tidak dominan dan sebaliknya jika kelompok tidak dominan berubah menjadi dominan melakukan hal yang sama.

4.1.3. Kekerasan Kultural
Kekerasan kultural berfungsi untuk melegitimasi kekerasan langsung dan struktural (Galtung, 2003:5, 349), sehingga memotivasi aktor untuk melakukan kekerasan langsung atau menghilangkan kekerasan struktural balasan; dapat dikehendaki atau tak dikehendaki. Kekerasan kultural, semuanya simbolis; dalam agama dan ideologi, dalam bahasa dan seni, dalam ilmu pengetahuan dan hukum, dalam media dan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian kekerasan kultural yang dapat diidentifikasikan menjadi penyebab terjadinya kekerasan di Matraman yaitu :
a. Ideologi Melegitimasi Pada Kekerasan
Masing-masing pihak yang terlibat perkelahian memliki pengaruh dari ciri khas yang ada pada wilayah masing-masing. Kedua warga yang melakukan konflik kekerasan memiliki ideologi yang berbeda, disatu pihak Palmeriam memiliki ideologi demokrasi dengan euforia reformasi sementara dipihak lain Berland memiliki ideologi militer. Keadaan ini dapat dipahami mengingat warga Palmeriam merupakan suatu daerah yang ditempati masyarakat umum yang dapat dikategorikan sebagai rakyat, sementara warga Berland merupakan komplek tentara dengan nuansa militernya begitu kental.
Nilai-nilai ideologi yang berkembang pada kedua kelompok yang berkonlik adalah kelompok yang cenderung otoriter-militeristik dan kelompok yang cenderung Demokratis dengan spirit euforia reformasi. Perbedaan Ideologi tersebut memperkuat kekerasan struktural dan mengakibatkan kekerasan lansung antar kedua kelompok yang berkonflik.
b. Bahasa Melegitimasi Kekerasan
Bahasa juga dapat memotivasi kedua warga untuk melakukan tindakan kekerasan dalam perkelahian antar warga ketika bahasa yang cenderung kasar dan merendahkan salah satu pihak, sehingga penggunaan bahasa tersebut memiliki makna represif atau kekerasan struktural. Bahasa ini dapat berupa kata untuk meremehkan atau membanggakan diri sendiri serta pengunaan kata-kata kasar dalam pergaulan sosial. Penggunaan bahasa dengan kata-kata kasar dan merendahkan salah satu pihak dalam kehidupan sehari-hari tentu saja lama kelamaan menjadi hal yang biasa dan pada akhirnya mempengaruhi sikap masyarakat tersebut dalam hal ini mempengaruhi kelompok dalam melakukan konflik kekerasan.
c. Seni Melegitimasi Pada Kekerasan
Seni merupakan ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Ekspresi seni yang berkembang dan memiliki keterkaitan dengan konflik kekerasan dari kedua kelompok adalah seni bela diri. Kedua kelompok yang berkonflik memiliki keahlian yang berbeda dalam seni bela diri yaitu seni bela diri berbasis budaya lokal dan seni bela diri berbasis militer. Dalam kenyataannya, seni berbasis lokal cenderung ditujukan untuk mempertahankan diri, sedangkan yang berbasis pada militer cenderung ditujukan untuk melakukan penyerangan, sehingga fenomena tersebut memperkuat kekerasan struktural.
d. Hukum Melegitimasi Pada kekerasan.
Hukum merupakan hasil konsensus sosial untuk mencapai keteraturan sosial. Kedua kelompok memiliki pegangan hukum yang berbeda sebagai landasan pengendalian bagi kelompoknya, yaitu hukum militer dan hukum sipil. Namun dalam suatu kelompok memiliki dua landasan hukum yaitu hukum militer bagi orang yang berstatus militer dan hukum sipil bagi angggota keluarganya. Dalam kenyataannya, kelompok lawannya menganggap bahwa keadaan tersebut sebagai grey area sehingga mereka tidak diproses secara hukum sipil jika terjadi pelanggarah hukum, berbeda jika terjadi pada kelompoknya secara cepat aturan hukum diberlakukan. Pemahaman akan ketidakadilan hukum dan sanksi hukum menciptakan kekerasan struktural.
f. Media Melegitimasi pada kekerasan
Pemberitaan media (baik elektronik maupun media massa) lebih banyak mengekspos konflik kekerasan daripada perdamaian. kondisi tersebut memperkuat hubungan kedua kelompok dengan posisi saling berlawanan. pemberitaan justru membawa dampak negatif pada perkembangan perdamaian di kawasan Matraman, karena pemberitaan pada media seakan-akan melebih-lebihkan, misalnya penamaan Wilayah Matraman dengan nama “jalur Gaza” Matraman, karena seringnya peristiwa perkalahian di wilayah Matraman. Konflik di Matraman sudah menjadi pemberitaan di media lokal maupun nasional bahkan internasional. Pemberitaan yang sering terekspos adalah konflik kekerasan, sementara pemberitaan yang bernuansakan perdamaian sulit terekspos.

4.2. Resolusi Konflik Kekerasan Antara Palmeriam – Berland
4.2.1. Resolusi Konflik Melalui Litigasi
Resolusi konflik kekerasan mengenai perkelahian antar warga dilakukan melalui proses litigasi yaitu menggunakan jalur pengadilan. Faktanya, Proses litigasi dalam penyelesaian konflik kekerasan dilakukan baru sebatas pada penyidikan yaitu mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan sehingga selanjutnya kasus perkelahian tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak. Proses penyidikan yang pernah dilakukan oleh pihak Kepolisian dapat dikategorikan meliputi penangkapan, pemanggilan saksi-saksi.
Resolusi litigasi yang telah diupayakan oleh pihak Kepolisian tersebut mengalami beberapa hambatan dikarenakan upaya penyidikannya memicu emosi dan protes warga, adanya anggapan bahwa kasus perkelahian antara warga tersebut bukan kriminal biasa, adanya hubungan institusi antara kepolisian dengan pihak militer dan kurangnya bukti sehingga kasus perkelahian tersebut tidak dapat diteuskan ke pengadilan.

4.2.2. Resolusi Konflik Non Litigasi (Alternative Despute Resolution/ADR)
Konflik kekerasan mengenai perkelahian antar warga melalui cara non litigasi atau ADR mengingat cara ini dapat menyelesaikan konflik dengan terbangun kesepakatan yang bersifat win-win solution yaitu kedua pihak yang berkonflik merasa menjadi pihak yang menang atau tidak ada pihak yang kalah, kemudian masing-masing pihak dapat menjelaskan masalah-masalah yang dianggap mengganggu yang menjadi penyebab retaknya hubungan serta dilakukan secara bersama-sama atau juga bisa melibatkan pihak ketiga yang disepakati bersama, yang akhirnya hasil disepakati bersama sehingga hubungan kedua belah pihak akan terjalin dengan baik.
4.2.2.1. Negosiasi
negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Proses negosiasi yang pernah dilakukan oleh pihak tokoh masyarakat termasuk RT bersama-sama dengan RW yang terkait dari kedua belah pihak yang bertikai. Namun negosiasi yang dilakukan dengan cara musyawarah tersebut tetap tidak dapat menghentikan konflik atau perkelahian antar warga secara jangka panjang, karena pelibatan pelaku dalam negosiasi bukan sebagai utama tetapi pendukung negosiasi.
4.2.2.2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian konflik melalui atau dengan pihak ketiga yang netral dan independen. Kapasitas mediator adalah sebagai pihak yang netral yang berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian konflik. Tugas utama mediator dalam menyelesaikan suatu sengketa adalah mencari suatu kompromi yang diterima para pihak.
Setiap pertemuan untuk mendamaikan warga yang difasilitasi oleh pihak ketiga baik dari Pemerintah maupun aparat keamanan, pertemuan tersebut dilakukan dengan cara musyawarah. Hal ini sangat memungkinkan sekali untuk dilaksanakan sebab musyawarah adalah cara yang dinilai tepat dan sesuai dengan budaya. Dalam sebuah pertemuan yang bernuansakan musyawarah untuk mufakat tersebut mencerminkan adanya kedudukan yang setara bagi semua pihak yang bertikai dalam menentukan dan mencapai kata sepakat.
Keputusan yang telah disepakti bersama tersebut selain tidak mengikat, hasilnya juga bersifat win-win solution, hasil yang bersifat win-win solution tersebut antara lain adalah kesepakatan untuk membuat pagar pembatas dan pembentukan Forum Komunikasi Persaudaraan Masyarakat Matraman. Pemagaran yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Timur merupakan usulan dari warga, dan pagar tersebut didirikan tepat di tengah-tengah Jl. Matraman Raya, sedangkan Forum Komunikasi Persaudaraan Masyarakat Matraman dibentuk agar masyarakat Matraman mempunyai wadah untuk komunikasi, pembentukan forum ini juga merupakan usulan dari salah satu pihak yang bertikai. Namun upaya damai melaui mediasi ini juga belum memberikan hasil yang maksimal sebab perkelahian tetap saja terjadi. Kegagalan upaya damai melalui mediasi lebih disebabkan oleh karena sedikitnya pihak atau para pelaku perkelahian yang dilibatkan dalam mediasi, sehingga kasusnya sama dengan negosiasi yaitu apapun yang menjadi hasil dan keputusan mediasi hanya berlaku pada kalangan tertentu saja dan tidak mengakar pada semua lapisan masyarakat di Matraman terutama para pelaku perkelahian.
4.2.2.3. Konsiliasi
Proses konsiliasi sangat mirip dengan mediasi yaitu ada keterlibatan pihak ketiga dalam perundingan yang dilaksanakan. Letak perbedaan konsiliasi dengan mediasi adalah pihak ketiga dapat mengusulkan suatu kesepakatan apabila para pihak yang bertikai tidak dapat merumuskan suatu kesepakatan dan usulan tersebut disepakati dan disetujui oleh para pihak yang bertikai.
Kegiatan Out Bound yang merupakan usulan dari BKSN (sekarang Depsos) dan Yayasan Bina Insani, sebelum pelaksanaannya dilakukan pertemuan yang dikenal dengan prakondisi. Kegiatan prakondisi dilakukan pada masing-masing Kelurahan pada tanggal 2 November 2000 dan kegiatan pra kondisi yang kedua pada tanggal 4 November 2000 dilaksanakan secara terpusat di Kantor Kecamatan. Pada tahap prakondisi ini dihadiri oleh pihak ketiga yang terdiri dari tim perancang program (dari Depsos) didampingi Camat, Lurah-Lurah, LSM dan tokoh masyarakat serta unsur-unsur keamanan.
Upaya damai melalui proses konsiliasi yang pernah dilakukan di Matraman adalah kesepakatan untuk melakukan kegiatan Out Bound. Kegiatan Out Bound tersebut merupakan usulan dari pihak ketiga yaitu pihak Depsos bekerja sama dengan pihak terkait. Sedangkan nama kegiatan tersebut adalah Pemberdayaan Pemuda-Pemudi Matraman Melalui Kegiatan Out Bound, yang semua pihak dilibatkan dalam pelaksanaan kesepakatan konsiliasi tersebut sehingga terjalin rasa persaudaraan dan saling percaya di antara mereka yang pada akhirnya memunculkan rasa solidaritas bersama.

4.3. Model Manajemen Kolaborasi Resolusi Konflik
Resolusi yang dapat dikategorikan efektif dalam penyelesaian konflik kekerasan Palmeriam dan Berland adalah manajemen kolaborasi resolusi konflik yang dilakukan melalui kegiatan Out Bound, karena konflik kekerasan kedua warga tersebut tidak terjadi lagi. Kegiatan ini melibatkan Stakeholder antar lain:
Pihak Pemerintah
Stakehoder yang berasal dari pihak pemerintah adalah Pihak Kelurahan, Pihak Kecamatan, Pihak Kota Jakarta Timur, Pihak DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat (Depsos RI), kemudian dari aparat Kepolisian Sektor Matraman dan Koramil Matraman.
Pihak Swasta (Perusahaan)
Pada manajemen kolaborasi, semua pihak yang berada di Matraman dilibatkan dalam melaksanakan kegiatan Out Bound. Diantaranya adalah pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar Jl. Matraman Raya. Pihak swasta/perusahaan dilibatkan karena mereka memperoleh dampak dari konflik yang sering terjadi di Matraman dan sebagai salah satu pihak yang berkepentingan terciptanya kedamaian di lingkungan Matraman.



Pihak Masyarakat
pihak yang dilibatkan dari masyarakat adalah para pemuda yang merupakan pelaku perkelahian dan para tokoh masyarakat untuk masing-masing wilayah.
Pihak Lembaga Penyangga
Lembaga penyangga yang terlibat adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Bina Insani, Kegiatan Out Bound penggagasnya adalah Depsos dan Yayasan Bina Insani, sebelumnya juga sudah ada usaha-usaha oleh yayasan dengan menyosialisasikan kegiatan ini ke tiga kelurahan, kemudian pihak Yayasan Bina Insani mendesak BKSN (Depsos) agar kegiatan Out Bound tersebut dapat dilaksanakan. Oleh karena itu inisiatif kegiatan Out Bound dapat dikatakan dari pihak BKSN (Depsos) dan Yayasan Bina Insani.
Lingkungan
Dalam manajemen kolaborasi juga harus melibatkan lingkungan yaitu keadaan lingkungan di lokasi terjadinya perkelahian. Hal ini berarti lingkungan di wliayah Matraman. Konflik kekerasan yang terjadi dikawasan Matraman selalu berawal dari lingkungan itu sendiri, oleh karena itu dibuatkan mereka suatu kondisi sehingga mereka menjadi saling kenal, saling silaturahmi dan tidak melihat lawan atau kawan mereka menjadi satu dan sama dalam kegiatan Out Bound tersebut. Hingga setelah Out Bound mereka dapat membawa misi untuk menjaga wilayahnya agar tidak terjadi perkelahian kembali.












Pemerintah :
· Kelurahan (Palmeriam, Kayumanis dan Kebon Manggis
· Kecamatan Matraman
· Pemkot Jakarta Timur
· Pemda DKI Jakarta
· Depsos RI
· Polsek Matraman
· Koramil Matraman

Swasta :
Bank Mandiri, Danamon,
BCA, Fuji, Damri, Gramedia dan perusahan lainnya.
Masyarakat :
Pelaku Perkelahian
Tokoh Masyarakat
Lembaga Penyangga :
LSM Bina Insani
Lingkungan Matraman (Lingkungan konflik).

Gambar 2
Interaksi Lima Stakeholder di Matraman Azas-azas Manajemen Kolaboratif

Preposisi Manajemen Kolaborasi Resolusi Konflik
Manajemen kolaborasi resolusi konflik dalam penerapan hanya akan berhasil jika masing-masing stakeholder yang terlibat mempunyai kemauan untuk berkolaborasi dan mempunyai keyakinan bahwa lingkungan mempunyai manfaat, kedua hal tersebut merupakan proposisi dalam manajemen kolaborasi resolusi konflik.
1. Adanya Kemauan untuk Berkolaborasi
Persetujuan dan kesepakatan untuk mengadakan kegiatan Out Bound, walaupun usulan dari pihak ketiga namun dari para pihak yang bertikai sendiri mempunyai kemauan untuk terlibat dalam kegiatan Out Bound, begitu juga dengan pihak-pihak swasta yang tentunya menginginkan agar kawasan Matraman bisa damai. Dan tentu saja, kemauan berkolaborasi itu harus diakomodasikan dengan suatu pendekatan dan metode yang memungkinkan kolaborasi itu terjadi; dan dengan demikian menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
2. Lingkungan Memiliki Manfaat
Lingkungan dipandang sebagai suatu tempat kehidupan yang tentunya memiliki manfaat, cara pandang terhadap lingkungan yang dianggap mempunyai manfaat tersebut, dapat dilihat dari tujuan utama dari manajemen kolaborasi resolusi konflik melalui kegiatan Out Bound, yaitu menciptakan suasana atau kondisi Matraman yang aman, sehingga lingkungan menjadi kondusif untuk aktivitas para stakeholder, terutama para pihak yang bertikai dapat memanfaatkan lingkungan tanpa harus bertikai dengan pihak lain, begitu juga dengan pihak swasta memperoleh keuntungan dari lingkungan yang kondusif tersebut.
Manajemen kolaborasi sebagai suatu manajemen yang bersandar pada bentuk interaksi interdependensi. Interaksi interdependensi dapat dibangun melalui suatu interaksi yang bersandar pada azas kesederajatan, keadilan, saling menghidupkan dan saling membesarkan, azas keberlanjutan, dan keterbukaan. Berikut adalah uraian dari azas-azas manajemen kolaboratif.
1) Azas Kesederajatan
Setiap Stakeholder yang terlibat dalam manajemen kolaboratif memiliki derajat yang sama. Implementasi kederajatan itu adalah pengakuan yang tegas dan memiliki kekuatan hukum yang tetap terhadap hak-hak setiap Stakeholder.
Dalam manajemen kolaboratif untuk mengatasi konflik di Matraman dilakukan melalui kegiatan Out Bound. Setiap pihak atau Stakeholder yang dilibatkan dalam kegiatan ini memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas mereka. Tetapi dalam pelaksanaan kegiatan Out Bound ini semua Stakeholder ditempatkan sederajat agar semua pihak atau Stakeholder berpartisipasi aktif sehingga permasalahan konflik di Matraman dapat terselesaikan. Sedangkan untuk kondisi yang berkembang saat ini, nampaknya azas kesederajatan tersebut tidak diterapkan secara berlanjut dan hanya terjadi saat pelaksanaan kegiatan Out Bound.
2) Azas Keadilan
Bahwa dalam penanganan terhadap setiap pihak untuk menyelesaikan permasalahan konflik di Matraman harus sama sesuai dengan posisi dan perannya. Seperti harus ada tindakan yang sama terhadap pelaku dari semua pihak yang menyebabkan terjadinya konflik di Matraman. Keadilan dalam kegiatan Out Bound yang difasilitasi oleh pihak Depsos juga tercemin pada perlakuan yang sama terhadap seluruh peserta dari pihak-pihak yang bersengketa. Perlakuan adil tersebut sesuai dengan hak dan kontribusinya kepada setiap stakeholder yang dilibatkan.
3) Azas Saling Membutuhkan
Setiap Stakeholder harus menyadari kalau mereka saling membutuhkan, dengan demikian mereka itu saling bergantung satu dengan yang lainnya. Jadi, interaksi antar Stakeholder itu bukan dibangun berdasarkan ”rasa kedermawanan” dan ”rasa kesetiakawanan” belaka, melainkan bersandar pada fakta bahwa interaksi dengan Stakeholder itu akan menghasilkan manfaat, begitu juga dengan pelaksanaan kegiatan Out Bound, setiap stakeholder yang terlibat saling membutuhkan, dan hal ini tentu akan sangat bermanfaat bahwa mewujudkan lingkungan yang damai tidak bisa dilakukan tanpa kebersamaan yang saling membutuhkan..
4) Azas Saling Menghidupkan dan Saling Membesarkan
Interaksi antar Stakeholder tidak saling meniadakan, sebaliknya malah harus memberikan kesempatan yang adil agar setiap Stakeholder itu dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. Kaitannya dengan upaya damai di Matraman, azas saling menghidupkan dan saling membesarkan ini nampak jelas bahwa setiap stakeholder terutama pihak swasta yang berada di kawasan Matraman harus mempunyai sikap yang demikian. Dalam kegiatan Out Bound tersebut terutama setelah diadakan pembinaan para peserta, pihak-pihak (stakeholder) terutama peran swasta dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi para pelaku yang menganggur.
Interaksi yang berkembang saat ini terkait dengan azas saling menghidupkan dan saling membesarkan di antara pihak-pihak (stakeholder) di Matraman sudah mulai luntur, seperti sedikitnya para pemuda dari kedua belah pihak yang dilibatkan atau direkrut oleh pihak swasta, begitu juga dengan sikap dari pemerintah, terhadap para anggota Out Bound yang dinilai oleh banyak memberikan kontribusi yang cukup besar dalam meredam setiap aksi yang dapat memicu konflik antar warga, pemerintah bersikap tidak lagi memperhatikan para anggota Out Bound.
5) Azas Keberlanjutan (sustainability principle)
Pertama, bahwa kolaborasi dalam kegiatan untuk mengatasi permasalahan konflik di Matraman hendaknya dirancang, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam konteks kerja sama jangka panjang sesuai dengan prinsip going concern. Kedua, agar manajemen kolaborasi untuk menjaga perdamaian di Matraman dapat mengalirkan manfaatnya secara berkelanjutan, maka kelesatarian perdamaian itu harus dijaga dengan baik.
6) Azas Keterbukaan
Keterbukaan mengandung arti tersedianya aliran informasi yang lancar dan berimbang di antara Stakeholder yang terlibat. Selain itu, praktek manajemennya menyangkut proses dan hasil terbuka untuk dikenali dan ditanggapi oleh pihak luar; dengan kata lain, pola pengelolaanya itu menyebutkan akuntabilitas yang baik. Sikap keterbukaan dari seluruh pihak yang terkait guna mencapai perdamaian, dalam proses kegiatan Out Bound, baik tahap persiapan, selama kegiatan maupun setelah kegiatan, sikap ini (keterbukaan) dari para pihak (baik pengelola maupun peserta Out Bound) telah ditunjukan oleh masing-masing pihak. Interaksi antar stakeholder yang terkait dengan azas keterbukaan ini, pada perkembangan saat ini nampak bahwa masing-masing pihak lebih tertutup dan cenderung tidak acuh terhadap perkembangan keadaan dan kondisi Matraman.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Konflik kekerasan dalam bentuk perkelahian antar warga disebabkan oleh faktor struktural dimana posisi kelompok yang berkonflik memiliki kekuatan dominan versus tidak dominan dan terjadi perubahan dominasi secara dinamis terkait dengan posisi kekuatan kelompok tersebut. Kelompok dominan melakukan tindakan represif (politik) dan eksploitasi (ekonomi) kepada kelompok tidak dominan, sehingga menimbulkan memorial passionis (ingat penderitaan), sehingga manakala kelompok tidak dominan sebelumnya berubah menjadi memiliki posisi yang dominan, kelompok tersebut melakukan hal yang sama kepada kelompok yang tidak dominan. Konflik kekerasan semakin tajam jika dilegitimasi oleh faktor kultural yang muncul dalam ideologi (otoriter militeristik versus demokrasi euforia reformasi), hukum (hukum sipil versus militer), bahasa (kasar versus kasar), seni (seni berperang versus beladiri) dan media masa (perdamaian versus kekerasan);
2. Resolusi konflik kekerasan antar warga dilakukan melalui dua cara yaitu : (1) litigasi; (2) non litigasi atau alternatif dispute resolution (ADR) yaitu negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Resolusi konflik melalui litigasi merupakan penegakkan hukum yang berlaku di masyarakat guna menciptakan dan mewujudkan keamanan dan ketertiban, namun belum dilaksanakan sesuai proses dan aturan yang berlaku dikarenakan karakterisktik kelompoknya masih bercirikan solidaritas mekanik padahal termasuk pada struktrur masyarakat perkotaan. Sementara Resolusi konflik melalui non litigasi atau Alternatif Dispute Resolution (ADR) baik dalam bentuk negosiasi, mediasi, konsiliasi merupakan resolusi yang banyak ditempuh dalam penyelesaian konflik kekerasan mengingat resolusi tersebut berorentasi win-win solution serta merepresentasikan prinsip-prinsip kooperatif dan assertif yang diterima oleh kedua kelompok yang berkonflik. .
3. Konflik dan resolusinya tidak hanya menjadi kepentingan bagi kedua kelompok yang berkonflik tetapi menjadi perhatian kelompok kepentingan lainnya mengingat kelompok tersebut merasakan manfaat dan kerugiannya. Oleh karena itu, Model Manajemen Kolaborasi resolusi konflik merupakan resolusi yang sesuai untuk mengakomodasikan berbagai kelompok kepentingan (stakeholders) dengan menerapkan azas-azas manajemen kolaborasi secara utuh yaitu kesederajatan, keadilan, saling membutuhkan, saling menghidupkan dan saling membesarkan, azas keberlanjutan dan, azas keterbukaan. Penerapan asas-asas manajemen kolaboratif mengakomodasikan sikap kooperatif (upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain) dan asertif (upaya satu pihak untuk memuaskan kepentingannya sendiri) yang tinggi,

5.2 Saran
5.2.1. Saran bagi Pengembangan Ilmu
Konflik kekerasan dikategorikan menjadi tiga konsep yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Ketiga konsep tersebut memiliki keterkaitan untuk menjelaskan penyebab konflik. Kekerasan langsung terlihat secara langsung melalui mata dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan-perbuatan (melukai, merusak bangunan dan simbol-simbol lawan, menyiksa dan membunuh. Kekerasan struktural mengandung pola hubungan antar sosial dalam posisi kuat dan lemah (dominan dan tidak dominan) yang terbagi dalam politik berupa tindakan represif dan ekonomi berupa eksploitasi. Kemudian kekerasan kultural sebagai dasar yang melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural. Kekerasan kultural berada dalam ideologi (demokrasi dengan euforia reformasi versus otoriter-militeristik), hukum (hukum sipil versus militer), seni (seni berperang versus bela diri) bahasa (kasar versus kasar), dan media (perdamaian versus kekerasan).
Dalam pengembangan teori resolusi konflik, manajemen kolaborasi resolusi konflik merupakan metode resolusi konflik secara kolaboratif, yaitu suatu resolusi yang menempatkan setiap stakeholder (pemerintah, swasta, NGO, masyarakat dan lingkungan dan PT) dalam kedudukan yang sederajat dengan mengakomodasikan sikap kooperatif dan assertif dalam meresolusi perkelahian antar warga.
Tentang arah perubahan masyarakat perkotaan, dikonseptualisasikan melalui perubahan budaya kekerasan menjadi budaya perdamaian. Kekerasan sebagai sesuatu yang mesti dikurangi (kuratif) dan dihindari (preventif) mengingat akan mengakibatkan berbagai kerugian. Dalam Masyarakat kota yang komplek dan heterogen tentunya dapat menjadi sumber kekerasan jika tidak terkelola dengan baik. Arah perubahan yang selaras dengan perkembangan masyarakat tersebut adalah budaya perdamaian yang dapat menaungi kehidupan masyarakat yang kompleks dimana pembawa strategi perdamaianya adalah semua orang baik dalam tatanan gagasan maupun praktek.
Berkaitan dengan penelitian lanjutan, Konflik kekerasan melalui konsep kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural dapat dijadikan landasan konseptual untuk melakukan kajian berbagai konflik yang berkembang di Indonesia baik dalam konflik horisontal yaitu konflik komunal, konflik antar suku, konflik sosial, konflik politik dan konflik agama. maupun konflik vertikal yaitu konflik separatis, konflik buruh dan pengusaha.

5.2.2. Saran Bagi Aspek Guna Laksana
Bertitik tolak dari analisis empiris dan kontribusi teoritis, maka kontribusi praktis penelitian ini lebih dititikberatkan pada upaya mengelimininasi konflik kekerasan melalui pendekatan budaya perdamaian dalam dua kategori yaitu perdamaian struktural dan perdamaian kultural. Perdamaian struktural diimplementasikan melalui perubahan pendekatan dalam pola hubungan sosial yaitu dari penindasan menjadi kebebasan dan dari eksploitasi menjadi persamaan. Strategi yang digunakan adalah dengan memperkuat dialog dan bukan penetrasi, integrasi dan bukan segmentasi, solidaritas dan bukan fragmentasi, serta partisipasi dan bukan marginalisasi.. Sementara perdamaian kultural akan menggantikan legitimasi kekerasan dengan legitimasi perdamaian; dalam agama, hukum, seni dan bahasa, ilmu pengetahuan dan hukum, serta pendidikan dan media.
Dalam kaitannya dengan keterlibatan stakeholders, semua stakeholders harus memiliki pemahaman tentang budaya perdamaian yaitu pemerintah, swasta, lembaga pendidikan dan NGO, serta masyarakat. Sementara fokus utama implementasinya adalah keluarga, sekolah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel Salam, El Fatih A. 1991. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik. Malaysia: Kuala Lumpur University.
Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Affandi, Hakimul Ikhwan. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman; Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif (Dasar-dasar Rancangan dan Melakukan Penelitian Kualitatif). Jakarta: Pustaka Jaya.
Andreasen, Kotler. 1995. Strategi Pemasaran untuk Organisasi Nirlaba.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anstey, Mark dkk.. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Terjemahan LP4M, Jakarta: AMEEPRO.
Anwar, Dewi Fortuna, dkk. 2005. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijkan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies : Theory and Practice. London. Sage Publication.
Broek, Theo Van den. 2006. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi : Dasar Menangani Konflik di Papua. Jayapura : Tim SKP Jayapura.
Budimanta, Arif. 2003. Advanced Course Community Development.
Collin, Randall, 1975. Conflict Sociology. New York: Academic Press.
Cornelius, Wayne A. “Urbanization as an Agent in Latin American Political instability : The Case of Mexico”, The American Political Science Review Vol 63.
Cox, David. 1992. International Social Work. Australia. Melbourne: La Trobe University
Creswell, John W. 2002. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Jakarat, KIK Press.
Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Terjemahan Ali Mandan. Jakarta: Rajawali.
Depsos RI. 2004. Menyiram Bara Api Konflik. Jakarta.
Fanggidae, Abraham. 1993. Memahami Masalah Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
Fisher, Simon dkk. 2001. Mengelolah Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra.
Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian; Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Terjemahan Asnawi dan Safruddin, Surabaya: Pustaka Eureka.
Garna, Yudistira K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: PPs Unpad.
-----------------------. 1994. Teori-teori Ilmu Sosial (Materi Kuliah). Bandung: PPs Unpad.
-----------------------. 1996. Ilmu-ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: PPs Unpad.
-----------------------. 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
Gilbert, Neil dkk. 1993. Dimensions of Social Welfare Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Gunawan, Kamil P. 1999. Sosiologi dan Antropologi beserta Aplikasinya dalam Kehidupan masyarakat. Bandung: Buana Nusa.
Hariwoeryanto, Kasni. 1987. Metoda Penelitian Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Karya Nusantara.
Harnoko, Darto. 1993. Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial. Jakarta: Departemen P dan K Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Horton, Paul. Hunt, Chester. 1996. Sosiologi edisi 1 dan 2 jilid keenam. Jakarta: Erlangga.
Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Melalui Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. Diterjemahkan Ahmadie Thoha. 1986, Jakarta: Pustaka Firdaus
Kluckhohn and Strodtbeck, 1961. Varian and Value Orientation. New York: Patterson & Co.
Koentjoroningrat. 1985. Kebudayaan dan Mentalitas dalam Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1994. Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.
Malik. Ichsan, dkk. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan. Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atau Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala.
Mansyur, Cholil. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Margono, Suyud. 2004. ADR dan Arbitrasi; Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia
Marshall, Edward M. 1995. Transforming The Way We Work : The Power of the Collaboratif Workplace. New York : American Management Association.
Merton, Robert K. 1971. Contemporary Social Problems. USA: Harcourt Brace Jovanovich.
Miall, Hugh. Ramsbotham, Oliver. Woodhouse, Tom. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Terjemahan Tri Budhi Sastrio, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
Muhammad, Abdulkadir. 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar.. Bandung: Citra Adtya Bakti.
Nasikun, 1974. Suatu Pendekatan untuk Memahami Sistem Sosial Indonesia. Yogyakarta: Fisip UGM.
----------, 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
----------, 2006. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasir, Moch.1993. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.
Nasution S., 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nulhaqim, Soni Akhmad, dkk. 2000. Persepsi Masyakat tentang Berbagai Kerusuhan di Jakarta. Laporan Penelitian.
Pickering, Peg. 2000. How to Manage Conflict. Jakarta : Air Langga.
Pincus, Allen & Minahan, Anne. 1977. Social Work Praktice: Model and Methode. Illinois: Peacock
Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan YASOGAMA, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prabatmodjo, Hastu dkk. 1993. Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah dalam Pengelolaan Lingkungan. Bandung: ITB
Pruit, Dean G and Rubin, Jeffrey Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwana, Bambang Hendarta Suta. Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999. Suatu tinjauan Sosial Budaya. Pontianak.Romeo Grafika
Ranjabar, Yacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor. Ghalia Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman 2004. Teori Sosiologi Modern, Terjemahan Alimandan, edisi ke enam. Jakarta: Prenada Media.
Ritzer, George 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Riley, Jhon. M. 2002. Stakeholders in Rural development: Critical Collaborationin State-NGO Partnership. New Delhi. Sage Publication.
Romziah.1996. Problem dan Implementasi Peledakan Penduduk Lansia Menjelang Tahun 2020. Yogjakarta: PPK UGM
Schenk, Quentin F. & Emmy Lou Schenk. 1981. Welfare Society, and the Helping Professions. USA: Macmillan Publisshing
Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES
Skidmore, Rex A., Thackeray, Milton G., & Farley, O. William,1988. Introduction to Social Work. New Jersey: Prentice Hall.
Soehartono, I. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
----------------------- 2001. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
----------------------- 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2001. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soetarso.1993. Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial, dan Kebijakan Sosial. Bandung : STKS.
Soetrisno, Loekman. 2003, Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.
Suhendra, K.1995. Kebijakan dan Program Pelayanan Sosial di Indonesia. Bandung: STKS.
Sulaeman, Munandar M. 1995. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Eresco.
------------------------------. 2001. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika.
Sukoco, Dwi Heru 1995. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongan. Bandung: STKS.
Sumarnonugroho, T. 1991. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Hanindito.
Sunaryo, Bambang. 2000. Pengelolaan Konflik Sosial. Jogyakarta: UGM
Sunarso, Siswanto, 2005. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Suppes, Mary Ann.,Wells, Carolyn Cressy.1991. The Social Work Experience. Singapore: Mc-Graw-Hill.
Tadjudin, Djuhendi, 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: LATIN
Tim Peneliti LIPI, 2001. Bara dalam Sekam. Bandung: Mizan
Tropman, John E, dkk.1995. Tactics And Techniques of Community Intervention. USA : Peacock Publishers.
Tuner, Bryan S. 2002. Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat. Terjemahan Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan Muzir, dan Muhammad Syukri, Djogjakarta: Ar-Ruzz Press.
Ul Haq, Mahbub.1995. Tirai-Tirai Kemiskinan : Tantangan-Tantangan untuk Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Usman, Rachmandi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar pengadilan. Bandung: Citra Aditya Bakti
Vaus de, D.A. 1993. Survey in Social Research. London: MC Cllelland
Wibhawa, Budhi. 1997. Klien. Bandung: Fisip Unpad.
--------------------. 1999. Identifikasi Masalah Sosial dan Penanganannya. Bandung: Fisip Unpad.
--------------------. 1999. Pelayanan-Pelayanan Sosial: Suatu Pengantar. Bandung : Fisip Unpad.
Wolfe, Alvin W. & Yang, Honggang. 1994. Anthropological Contribution to Conflic Resolution. Athen and London: The University of Georgia Press.
Yin, Robert. 1989. Case Study Research: Design and Methods. New Delhi: Sage Publication.
Zamroni, 1992. Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: TiaraWacana.
Zeitlin, Irving. M, 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: UGM Press.

Jurnal
Alqadrie, 2003, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, Jurnal Analisis SCIS, Seri INIS XLI. Leiden-Jakarta: INIS dan PBB.
Suparlan, Parsudi, 1999. Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahanya. Indonesia Journal of Social and Cultural Anthropology, Th XXXIII No 59. Jakarta: FISIP UI.

Makalah
Martodirjo, Haryo. 2004. Tinjauan Antropoligis Tentang Peta dan Sumber Konflik Serta Gagasan Resolusinya. Seminar sehari Konflik Sosial di Indonesia dalam rangka memperingati Dies Natalis UNPAD ke-43 Bandung: Fakultas Psikologi UNPAD.
Saefullah, A. Djadja. 1999. Pengantar Metode Penelitian Sosial. Makalah disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Tingkat Universitas Padjdjaran, Bandung.
Sulaeman, Munandar M. 2004, Tinjauan Sosiologi Konflik Sosial di Indonesia. Makalah Seminar Sehari Konflik Sosial di Indonesia. dalam rangka memperingati Dies Natalis UNPAD ke-43. Bandung: Fakultas Psikologi UNPAD.

Penelitian
Kasmy, Masrul. 2002. Perilaku Camat dan Timbulnya Konflik Sosial. Bandung: Tesis PPs Unpad.
Konradus, Blajan. 2006. FAOT KANAF-KANAF Sebagai Representasi Lingkungan (Kajian Etnoekologi tentang Kearifan Lokal Masyarakat Adat Atoni Meto di Timor Barat-Provinsi Nusa Tenggara Timur). Surabaya: Disertasi PPs Universitas Airlangga.
Nugraha, Yus. 2001. Funsionalisasi Kelembagaan/Organisasi kepemudaan melalui Community Organizing dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Rentan Tawuran dalam Meningkatkan Partisipasinya Untuk Menjaga Ketertiban, Keamanan dan Kenyamanan. Bandung: PPK-Lemlit Unpad.
Rusidi.1989. Desertasi tentang Dinamika Kelompok Tani dalam Struktur Kekuasaan Masyarakat Desa Serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku Usaha Tani Petani Berlahan Sempit dan Kekuatan Ikatan Patron-Klien (Suatu Survai di Jawa barat). Bandung: Unpad
Soleman, M. Tauhid. 2002. Penyelesaian Konflik Horizontal yang bernuansa Agama di Kabupaten Maluku Utara. Bandung: Tesis PPs Unpad
Sulaeman, Munandar. 2003. Konflik Multidimensi Masyarakat Tasikmalaya. Jakarta: Disertasi PPs UI

Majalah
Tranformasi Vol. 1, No. 2, Juli-Sept 2000, Potensi Konflik Sosial di Berbagai Daerah (Kusnaka Adimihardja). Bandung: Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Media Massa
Kompas, Senin, 7 Februari 2000
Kompas, Jumat, 23 November 2001

Undang-undang
Undang-undang Kepolisian Negara (UU RI No. 2. TH. 2002)

Rujukan Eletronik:
Agustono. 2001 Research Proposal; Ethnic Conflict in North Sumatera, Indonesia. Melalui www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ann.htp
Judith R.G, Stephen P. Robbin. Pengurusan Konflik. Melalui http://stafweb.uum.edu.my/~foad437/konfliky.htm
Prawasti, Fatmawati dkk. 2001. Profil Psikologi Tiga Kelompok Etnik yang bertikai di Kalimantan Barat: tinjuan berdasarkan teori sistem nilai, jarak sosial dan tingkahlaku antar kelompok www.neumann.f2.org/sarlito/stereo.html
Sudirah. Praktek Sistem Gadai Sawah: Studi Kasus Desa Margamulya, Bongas, Kabupaten Indramayu. Melalui http://psi.ut.ac.id/Jurnal/101sudirah.htm-- indonesia-policy@indopubs.com
Suwarsih, Warnaen. 1979. Dari Stereotip Etnis ke Konflik Etnis www.unhasalumninet.com/news/0011.html
Tarmizi, Erwand. 2005. Konsep Jihad dalam Islam. http://www.islamhouse.com/id/modules.php?name=News&file=article&sid=17
4 Kompas, Senin 7 Februari 2000